DIALOG PRESIDEN DAN PENYAIR




Dialog Presiden dengan Penyair 1 :





Presiden : "silahkan saja anda menyuarakan kepincangan negri ini dengan keindahan bahasa anda. tapi anda harus sadar..."



Penyair : "Maksud tuan presiden?"



Presiden : "bagi kebanyakan orang awam termasuk saya yang merasa bahasa sastra terutama syair adalah bahasa surga.... bahasa yg sulit kami mengerti... jadi anda jangan heran,simpati saya ke karya dan sepak terjang anda hanya sebatas kekaguman saya akan keindahan bahasa saja.... tidak lebih."



Penyair : "Lha selama ini kami cuap-cuap orasi di depan istanamu ini hanya tuan presiden apresiasi seperti itu? Sungguh terlalu!"



Presiden : "kenyataan begitu, saya harus bilang apa" (jawab presiden ngeloyor ke rumah mak erot untuk nglempengi otaknya yang bengkok"





Dialog Presiden dengan Penyair ke 2 :



Mendengar jawaban tuan Presiden seperti itu . Penyair baru sadar. bahwa pengungkapan dengan gaya bahasa yang penuh metafora, hiperbola dan ra.... ra.... yang lain yang terbukti tidak dapat menyentuh hati presiden yang telah ditetapkan dengan cara dibekukan oleh Allah atas perikemanusiaan (perikehewanan termasuk tidak ya?)

Masa mudanya yang romantis dengan dunia seni yang pernah digelutinya, setelah merasakan nyamannya bermain senjata dan bermain perasaan rakyatnya tidak bisa lagi mengenal bahasa surga yang Presiden sekarang inginkan adalah kenyamanan, kekayaan, kedudukan dan wil-wil (perlu konfirmasi dulu masalah ini ke beliau) atau justru Pil-Pil lain yang diharapkan mengencangkan kedudukannya.



Presiden : “kelihatanya masih ada yang mengganjal di pikiranmu atas obrolan kita kemarin lusa ya?”



Penyair : “betul tuan Presiden. Mengapa tuan presiden dapat berubah seperti itu?’



Presiden : “Bukannya yang mengolak-alik pikiran manusia itu Tuhan?”



Penyair : “tidak sepantasnya seorang presiden melempar sesuatu yang menjadi hak dan tanggung jawab sebagai makhluk-Nya kepada pencipta-Nya.”



Presiden (memutar otak sedengnya) : “maksudku yang tersurat di atas jelas beda dengan yang tersirat.”



Penyair (nyengir kuda lumping makan beling : “Dari ucapan terakhir tuan presiden, saya telah menyimpulkan bahwa tuan Presiden berusaha menyembunyikan sesuatu yang tahu menjadi samar. Tersirat tuan presiden tahu.... mengapa metafora tidak tahu? Maaf tuan Presiden.... ternyata tuan presiden memang kutukupret.”



Dialog Presiden dengan penyair ke 3 :



Pertemuan larut malam sang penyair dengan tuan presiden kali ini dilakukan di ruang dinas kepresidenan. Tentunya setelah tuan presiden melakukan perjamuan santap malam dengan beberapa kepala Negara sahabat secara bergantian dari pukul 7 malam tadi. Waktu telah menunjukan pukul 23:45 saat sang penyair dipersilahkan masuk oleh ajudan melalui pintu khusus,Sang Penyair merasa dipasung waktunya (hanya) karena tuan presiden ingin bertemu dengannya. Yang dibicarakan sangat ringan. Karena ringannya sempat Penyair tidur terlelap disaat tuan Presiden mengeluarkan seluruh isi otaknya guna menjawab pertanyaan Penyair yang kini tidak lagi bermain metafora ataupun hiperbola. Dia bahkan membuang ucapan satirnya diganti dengan ucapan tanpo tedeng aling-aling alias blokosuto. Tuan presiden bukannya marah, beliau malah tertawa. Entah apa yang ditertawakan, membuat penyair curiga, jangan-jangan tuan presiden menertawakan Penyair yang dianggap menyederhanakan permasalahan yang beliau hadapi.



Pukul 01: 22 tuan presiden menghampiri Penyair yang posisi duduknya telah merosot menjadi rebahan di sofa. Mengetahui tuan presiden menyapanya dengan senyum khasnya, membuat penyair cukup menurunkan ke dua kakinya yang bersepatu sandal dari atas meja. Sisa hidangan malam yang disediakan buat Penyair telah raib dari atas meja, diganti makanan ringan dan minuman penghangat kesukaan mereka berdua yaitu wedang ronde khas Kali Klenter.



Penyair : Ada yang dapat saya bantu tuanku Presiden? eee maaf...pertanyaanku aku ralat. dapatkah tuan Presiden membantu saya?



Presiden : InsyaAllah. Ada masalah apa?



Penyair : (membatin ; kena lu!) seperti biasa, silahkan tuan presiden mengisi kolom titik-titik di bawah ini. hehe



Presiden : hehe juga.



Penyair : Tahun ini berkah Allah yang berupa air hujan sungguh luar biasa.... bagaimana caranya tuan memanfaatkan air yang berlimpah ruah ini guna musim kering di bulan-bulan ke depan?"



Presiden : Waduh belum aku pikirkan sampai ke situ. tapi aku salut dengan pemikiranmu.



Penyair : jauhkan menset kita selama ini bahwa banjir sebagai bencana. Tahu tidak tuanku Presiden? Jakarta ini di musim kemarau sangat kekurangan air. tinggal bagaimana tuan Presiden menginstruksikan gagasan ini menjadi kenyataan.



Presiden : perlu aku pertimbangkan.



Penyair : Bukan lagi dipertimbangkan, langsung diputuskan dan dipraktekan wahai tuanku Presiden.. langsung action.



Presiden : Oke-oke... tapi tak segampang kamu ucapkan bukan? tahu sendiri DPR lebih suka mementahkan sebuah kebijakan pemerintah tuk dapat uang tambahan disidang pura-pura meraka dibanding memikirkan unsur kemanfaatan.



Penyiar : Jangan jauh-jauh berpikir dulu wahai tuanku Presiden. masalah sifat buruk dewan ini kita bahas di dialog lain waktu saja. saat ini ada yang lebih mendesak... kendalikan Banjir dengan bijak. banyak waktu terbuang dan kerugian materiil dan spirituil yang dirasakan rakyatmu saat ini. sekarang aku mau tanya : Bagaimana tindakanmu masalah pertaanyaanku awal? Jakarta dan wilayah lain banyak yang kebanjiran. bahkan kini banyak korban yang berjatuhan bahkan meninggal. cukupkah tuan presiden mencincing celanamu tuk dijepret para wartawan saat kemarin tuan Presiden mengecek istanamu ini yang kerendam air?



Presiden : tolong diralat ucapanmu 'dijepret wartawan'. Memangnya aku ini anak kecil, dijepret karet takut? tak uk uk ya!



Penyair : Oke aku ralat. Tuanku presiden mejeng di depan kamera. setuju tuan Presiden?



Presiden : nah kalau ini memang aku akui. kerenkan? aku malah ada ide... dimusim hujan para ajudan dan aparat pemerintahan masuk kantor memakai celana pendek dan memakai sandal jepit.



Penyair : Aku setuju! lebih setuju lagi kalau tuan Presiden dan para mentri dan pejabat negara jalan kaki dari rumah ke kantornya. aku yakin lebih merakyat.



Presiden : merakyat sih merakyat tapi kalau dusiruh jalan kaki sejauh itu ya namanya menyiksa. Lha kapan aku memikirkan rakyat dan negara?



Penyair : nah Lo! Tuan Presiden sadar. tuan Presiden berada disini menyetujui untuk melayani rakyat ya nikmati sajalah.... jangan banyak mengeluh. Lihat Tuh, gubernur barumu... terlihat dari mimik wajahnya letih tapi otaknya selalu encer.



Presiden : Perasaanku di obrolan kali ini tidak bermutu dan tidak berkembang nih.



Penyair : Itulah yang membuat pemerintahanmu lemah wahai tuanku presiden. Tuan selalu menyepelekan sebuah masalah. padahal semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Di negri ini banyak orang pintar dan cerdas serta pandai untuk dimintai pendapatnya. Tuanku Presiden harus berhati-hati dalam bertanya apalagi minta pendapat, banyak sekali orang yang pintar tapi sayangnya masih kalah dengan orang yang licik. walau orang licik sedikit tapi efek buruknya lebih membahana.



Presiden : (Mesem-mesem)



Penyair : sekarang saya mau tanya.... tuan presiden termasuk golongan yang mana?



Presiden : Tunggu sebentar ya? aku mikir-mikir dulu.



Penyair : Dasar tuan Presiden IDEot... IDEnya tertinggal di dengkul.



(bersambung di dialog ke 4)