Teori Ketidakadilan terhadap Minoritas

Teori Ketidakadilan terhadap Minoritas

Oleh Awaludin Marwan


Materi obrolan dalam Diskusi Tengah Malam di Kedai Kopi ABG, Sabtu, 10 Desember 2016 mulai pukul 23.00 dengan moderator Achiar M Permana.

“Emak Jokowi itu adalah gundiknya orang China.” 

i  

Seketika itu juga, kata-kata tersebut masuk unsur delik pidana. Terlapor adalah Pemimpin Redaksi Tabloid Obor Rakyat. Kasus itu sontak menjadi buah bibir dalam perbincangan politik dan hukum.

Menarik, polisi mengganjar pelaku dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, regulasi yang nyaris tak pernah terpakai sejak dilahirkan. Padahal, sebenarnya Jokowi mewakili mayoritas: dia Jawa dan muslim.

Jika dia merasa terdiskriminasi lantaran tuduhan etnisitasnya, tentu tidak juga benar. Apalagi perasaan teriris dan menyayat kaum minoritas, yang jelas-jelas mendapat perlakuan diskriminatif.

ii  

Perlakukan terhadap masyarakat Tionghoa, Ahmadiyah, Syiah, gay, lesbian, transgender, eks tahanan politik (tapol), masyarakat adat, dan seterusnya makin memprihatinkan di tengah mayoritas menikmati demokrasi, kebebasan, dan media sosial.

Minoritas adalah soal jumlah,

iii 

karena jumlah komunitasnya kecil. Jumlah kekayaannya juga kecil. Atau, gabungan keduanya. Umpamanya, ibu-ibu Kendeng yang sangat heroik memperjuangkan hak dan lingkungan kampung mereka. Mereka tak punya duit, melawan raksasa P.T. Semen Indonesia. Mereka layak disebut kaum minoritas yang meraih sukses besar menumbangkan mayoritas.

Pun demikian masyarakat China Benteng atau masyarakat Tionghoa di Yogyakarta. Jangan samakan mereka dan konglomerat macam Anthony Salim, Datu’ Sri Tahir, Mochtar Riady, Robert Budi Hartono. Mereka adalah segmen yang jelas berbeda. Yang satu karena modal bisa kapan saja sebagai mayoritas. Adapun masyarakat di Muara Angke, Glodok, dan berbagai pecinan seluruh kota selayaknya masyarakat yang lain, dengan modal pas-pasan, itulah yang disebut minoritas betulan.

Bahkan Majalah Tempo menunjukkan minoritas sejati pada diri Yap Thiam Hien. Dia Tionghoa. Dia Kristen. Dan, dia jujur.

v  

Dialah sebenar-benar minoritas tiga lapis. Bahkan Daniel S. Lev menyebut dia sebagai advokat hak asasi manusia tanpa kompromi.

vi  

Lebih dari sekadar itu, Yap mengagitasikan sebuah “teologi kemanusiaan”

 vii 

dalam berhukum.

Sialnya, dalam literatur dan fakta di lapangan, minoritas selalu saja menjadi bulan-bulanan. Bahkan untuk memiliki sebuah “hak” saja, mereka dipertanyakan. Seyla Benhabib menyebut minoritas punya dilema atas the right to have rights.

viii  

Struktur tatanan politik, sosial, hukum, dan budaya sulit menerima, bahkan memusuhi, mereka.

Teori Ke(tidak)adilan terhadap Minoritas

Stereotipe yang melekat dan ditasbihkan pada minoritas akhir-akhir ini sering kali adalah “kafir” dan “penista agama”. Padahal, konsep keadilan dalam negara modern adalah perkawinan yang manis antara komunitas-komunitas sosial. John Rawls percaya sebuah kontrak sosial di antara masyarakat didasari kemanfaatan bersama.ix  Bukan kemanfaatan yang mendulang mayoritas, kemudian mengorbankan minoritas? Jelas bukan.

Skema faktual mayoritas yang selalu menindas minoritas adalah sebuah teori ketidakadilan terhadap minoritas. Kenapa saya sebut teori? Sebab, fakta itu sudah menjadi kepastian yang meyakinkan dengan bukti yang tak terelakkan kebenarannya.x  Di Indonesia, sebuah kenyataan bahwa masyarakat Tionghoa dirampok oleh milisi pemuda Indonesia zaman revolusi. Kerusuhan rasial dibiarkan terjadi pada 1963 tanpa pengungkapan kebenaran di muka pengadilan. Dan, ungkapan menyedihkan hakim Zak Yacoob ketika membacakan genosida terhadap etnis Tionghoa di Medan, Aceh, dan Lombok dalam keputusan International People Tribunal (IPT) 65. Yang paling mengerikan, puncak dari kebiadaban bangsa adalah kerusuhan rasial yang menelan 3.000-an orang tewas dan 156 perempuan diperkosa pada 1998.

Belum lagi pembubaran diskusi soal lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) di kampus-kampus. Ada stigmatisasi acara nonton bareng Pulau Buru, Tanah Air Beta. Ada pengusiran warga Syiah Sampang. Terjadi pengeroyokan dan perusakan tempat ibadah jemaat Ahmadiyah. Dan, masih banyak lagi tragedi memilukan yang lain. Itu bisa menjadi laboratorium pembuktian teori ketidakadilan terhadap minoritas. Sebuah teori yang berseberangan mentok dengan teori keadilan.

Tafsir sederhana saya terhadap pemikiran John Rawls yang terkenal dengan teori keadilannya, suatu ketika ada tingkatan abstraksi dari keadilan. Abstraksi itu biasanya adalah konten dari kesepakatan di antara individu dan komunitas.xi  Sebuah janji suci yang tak saling menyakiti, apalagi saling menyebar kebencian.
Namun kaum minoritas sudah sering kali patah hati, lagi, dan lagi. Namun tak banyak dari kalangan minoritas yang memperjuangkan hak mereka melalui saluran hukum. Entah karena memang mereka tidak percaya pada institusi hukum ataukah institusi itu terlalu sangar dan kaku, sehingga tak punya kepekaan.

Hemat saya, teori ketidakadilan terhadap minoritas disokong oleh dua kenyataan pahit. Pertama, sirkuit pengulangan tragedi rasisme yang melukiskan sebuah siklus tanpa henti. Sepanjang manusia bernapas ini, media massa mewartakan diskriminasi terumbar ke sana-kemari. Mereka yang gay, lesbian, transgender, difabel, Papua, dan seterusnya tersudut oleh tatanan mapan hukum.

Kedua, sekali lagi, teori ketidakadilan terhadap minoritas disebabkan oleh kelemahan partisipasi dan daya perjuangan kelas minoritas sendiri. Bisa dihitung dengan jari berapa banyak laporan yang masuk ke institusi negara berupa pengaduan masalah-masalah minoritas. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hanya mengantongi 15 laporan diskriminasi sejak 2011 hingga hari ini.xii  Ombudsman juga menerima bahkan hanya tiga laporan, sepanjang berdiri, soal masyarakat Tionghoa yang tidak boleh punya tanah di Yogyakarta.

xiii

Ketiga, struktur yang bengis membayang-bayangi diri dengan menebar rasa takut. Douzinas mencibir soal cara negara modern yang demokratis, hari ini, mempertahankan keamanan demi menciptakan misi perdamaian.xiv  Guantanamo dan kamp-kamp penyiksaan dibangun atas nama perdamaian dan demokrasi, dunia terlilit dalam belaian ironi. Serupa tetapi tak sama pada kasus fobia terhadap segala hal yang berbau “kiri” juga di Indonesia.

Pasca-30 September 1965, koran-koran utama tidak lagi terbit. Pembantaian besar-besaran dimulai. Menciptakan banyak hantu komunisme bergentayangan, paling tidak di Halimunda. Itulah sebuah desa di dekat pesisir pantai, dengan masyarakat yang dulu permai dan sentosa. Seperti itulah kisah yang dilukiskan dalam novel Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka (2004).

xv

Peristiwa 65 adalah pintu gerbang yang mengawali deretan peristiwa paling rasis dan menakutkan sepanjang sejarah Indonesia. Struktur negara mendadak kompak menyatakan saban komunitas Tionghoa sebagai “organisasi eksklusif rasial”. Jadi, mereka layak dibantai sebagai homo sacer!
Saya membayangkan begini. Homo sacer 

xvi  

adalah ritus kuno manakala seseorang yang dianggap terkutuk tak bisa dipersembahkan sebagai sesaji pada para dewa pagan. Karena mereka dilarang sebagai sesaji, mereka diburu untuk dibantai. Intisari homo sacer pun saya lihat dalam tragedi berdarah 65. Saya melihat tempat persembahan pada dewa itu umpamanya “pengadilan”. Seandainya pun tiada dewa yang layak disembah dalam pengadilan, paling tidak di sana bermukim mitos Dewi Themis.

Pun jika sang dewi yang tertutup matanya itu diganti logo pohon beringin sebagai simbol pengayoman sekalipun. Paling tidak orang-orang Jawa kuno memberikan sesaji di depan pohon-pohon beringin yang tumbuh sangar di setiap alun-alun kota di Jawa. Karena tak bisa dipersembahkan di tempat bersajian “pengadilan”, mereka ramai-ramai dihabisi regu tembak dan milisi yang disokong militer.

Peradilan sandiwara “Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub)” tak lantas menyucikan mereka dari hadas besar. Mereka, simpatisan Soekarno, PNI, PKI, Baperki, masyarakat Tionghoa, dan seterusnya terus diburu. Masa ini adalah masa perkabungan hukum. Hukum sudah benar-benar hancur dan patah hati. Apalagi keadilan sama sekali tak terpikirkan sedikit pun. Kebiadaban manusia Indonesia dihalalkan oleh struktur.

Bahkan negara pun merampok sisa harta kaum Tionghoa pada saat krisis. Departemen dan lembaga negara berlomba, berebut siapa di antara mereka yang paling rakus mengeroyok harta yang mereka sebut aset organisasi eksklusif rasial itu.

Dengan kedok “penyelesaian aset bekas milik asing/China”, Departemen Keuangan mengeluarkan surat yang menyingkirkan peran pengadilan dalam perampasan aset itu. Pengadilan dicampakkan, menjadi institusi tanpa makna -- dari yang semula berwibawa pada masa kepemimpinan Kusumah Atmadja dan Wirjono Prodjodikoro. Setiap keputusan pengdilan dulu dianggap perwakilan dari titah Tuhan di dunia. Departemen Keuangan membuangnya ke ujung.

Untuk mempercepat penyelesaian aset bekas milik asing/China, dipandang perlu meralat petunjuk penyelesaian dalam Lampiran I Surat Menteri Keuangan Nomor S-394/MK03/1989 tanggal 12 April 1989, yang semula tertulis “mengusahakan penetapan Pengadilan Negeri setempat tentang ketidak-hadiran Subyek Hak terdahulu (verklaring van afwezigheid)” diralat menjadi “tidak perlu” mengusahakan penetapan pengadilan negeri setempat tentang ketidakhadiran subjek hak terdahulu.

xvii

Departemen Keuangan saja sudah sangat terburu-buru hendak memiliki “harta rampasan despotisme” negara. Seperti pengantin yang tak tahan segera melewati malam pertama, padahal ijab kabul belum juga usai. Seperti orang kelaparan yang tersedia baru saja beras, bukanlah nasi di mangkuk mereka. Ketiadaan pengadilan sederhananya adalah raibnya keadilan. Dan, di atas adalah tragedi tertulis bagaimana struktur yang bengis memproduksi ketidakadilan terhadap minoritas.

Tidak hanya Departemen Keuangan yang diskriminatif merampas yang, demi Tuhan, saya yakin itu ilegal. Mereka menanggalkan institusi pengadilan yang ber-khittah suci. Kejaksaan Agung pun memperagakan cara dan langgam yang sama. Surat yang bernomor R-067 itu bersifat rahasia, yang ditandatangani Jaksa Agung Muda Intelijen. Surat itu menyerukan, tidak memberikan legalitas terhadap organisasi eksklusif rasial; tidak memberikan pelayanan terhadap organisasi eksklusif rasial; mendeteksi dan melaporkan keberadaan serta kegiatan organisasi eksklusif rasial di wilayah hukum masing-masing.

xviii

Saat itu tidak hanya Departemen Keuangan dan Kejaksaan Agung yang mengintimidasi keluarga kita, saudara kita, bahkan kita masyarakat Indonesia yang berturunan Tionghoa. Akan tetapi nyaris seluruh institusi negara, dari Menteri Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Sosial, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sampai Departemen Agama.

Ketidakadilan terhadap minoritas pun layak disebut sebagai sebuah teori. Kejadian berulang-ulang. Fakta teridentifikasi sebagai objektivitas. Ia adalah sebuah cerita tentang kenyataan.
Tentu itu kenyataan pahit yang mesti dilawan!

Hukum Itu Luka

Tak bisa dimungkiri, kadang sebuah peristiwa hukum menyisakan luka. Demo 2 Desember adalah dampak perasaan terluka sebagian muslim atas perkataan Ahok. Penghinaan terhadap kitab suci umat Islam, kitab yang saban hari mereka daras, lantunkan, dan yakini, telah dinistakan oleh gubernur nonmuslim. Meskipun, ya meskipun Ahok sudah memohon maaf. Tampaknya Allah SWT yang mahapemaaf sekalipun tak kunjung meredakan emosi sebagian saudara muslim kita.

Mereka menuntut keadilan. Mereka masih merasa terluka dalam hati. Seperti kata Aa’ Gym, “Kita doakan mudah-mudahan para peserta aksi juga para aparat yang terluka segera disembuhkan oleh Allah, baik lahirnya maupun batinnya [...] Bagaimana mengumpulkan orang sebanyak ini. Saya kira tidak ada partai mana pun yang sanggup, Pak. Tidak ada tokoh mana pun. Jadi kalau ada yang nanya, apa yang menggerakkan orang, saya juga mikir, kenapa saya juga ikut bergerak, Pak. Padahal rada kurang tertarik kecuali demo masak, Pak. Karena bisa dibagi, Pak. Ternyata, Pak, saya periksa ke hati ini. Oh, semua bergerak sebab masalah hati, Pak. Karena ada rasa yang di sini (sambil menepuk dada) yang tidak bisa dijelaskan. Dan, orang yang merasakannya tidak akan mengerti. Jadi ada rasa di sini (penonton tepuk tangan). [...] Kalau ada ulama bilang, ‘Ibu-ibu jangan makan babi, karena bagi umat Islam babi ini tidak boleh dimakan. Dalilnya Surah Al-Maidah Ayat 3. Gitu ya, Bu’. Nah, terus misalkan ada pedagang babi berkata, ‘Ibu-ibu, jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah Ayat 3.’ Jadi heran nih kita, ini siapa, kenapa pakai ngomong-ngomong Al-Maidah. Kalau suka makan babi ya sudah, silakan saja. Tapi ini adalah wilayah beda, langsung ke sini, Pak (menepuk dada kembali). Kenapa ustadz yang ngajarin dianggap bohong. Kenapa Al-Maidah dianggap alat kebohongan. Itu sederhananya ya, Pak. Halo, Pak (sambil melirik Kapolri).”

Pandangan Aa’ Gym (Abdullah Gymnastiar) di “Indonesia Lawyers Club” itu mewakili perasaan luka sebagian umat muslim yang mengikuti aksi damai pada 4 November 2016. Selain itu, di dalam kelompok Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI juga ada Muhammadiyah, sebuah organisasi kemasyarakatan yang karismatik yang banyak bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Bahkan jihad konstitusinya juga sangat memukau. Satu hal lagi, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Ma’ruf Amin, adalah orang yang sangat karismatik di kalangan pesantren.

Sungguh, mereka bukanlah kelompok dan tokoh yang bisa dikesampingkan integritas dan dedikasinya. Sementara itu, relawan Ahok juga sibuk dengan kampanye linguistik, “satu kata itu punya makna: makan pakai piring tidak sama dengan makan piring”. Semua itu adalah dinamika menghilangkan luka. Yang satu terluka hatinya lantaran dinistakan agamanya. Yang satu terluka karena ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana penistaan agama.

Posisi “cinta” dalam hukum publik itu sudah raib. Satu-satunya momen berharga hukum hanyalah catatan sipil: pernikahan dan kelahiran anak. Selebihnya adalah momen duka, kebencian, dan luka. Perceraian pun harus diselesaikan di meja pengadilan agama. Drama penuh perasaan ini -- amour lointain -- oleh Peter Goodrich disebutkan sulit ditangkap oleh institusi hukum, kecuali oleh para hakim pujangga yang punya sensitivitas hermeneutis yang cukup tinggi.

xix

Pada para hakim yang punya “indra keenam keadilanlah” kita bersimpuh. Kita berharap Indonesia melahirkan hakim-hakim seperti Retno Wulan Soetantio, Bismar Siregar, Prof. Subekti, Andi Andojo Soetjipto, dan seterusnya. Merekalah yang bisa menakar kepentingan para pihak penuh kehati-hatian. Merekalah yang menghidupkan dan mengajak berdialog Pasal 156a.xx Mungkin ini baru sebuah kemungkinan, solusi yang tepat adalah cara hakim Bambang menghukum Minah dalam kasus buah kakao. Minah dinyatakan bersalah dan dihukum percobaan, tetapi tak lantas mendekam di bui. Namun pasal penistaan agama adalah delik yang cukup rumit ketimbang kasus Minah.

Pasal 156a itu punya latar catatan historis yang unik. Sepanjang penggunaan pasal itu, justru lebih banyak berfungsi sebagai “penindasan” oleh kepentingan mayoritas terhadap minoritas. Pasal itu pernah digunakan dalam dua kasus besar, yakni menjerat Ahmadiyah dan pengikut Gafatar. Apalagi pasal itu menyebutkan dengan tegas “agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Lalu, pasal itu akhirnya hanya menjadi “kepentingan agama mayoritas” membumihanguskan agama-agama minoritas. Bagaimana jika agama-agama minoritas itu dinistakan?

Kadang saya berpikir, apakah mungkin jika mayoritas besar itu merasa dilecehkan, kemudian agresif menyerang minoritas, mereka menyebutnya sebagai perjuangan keadilan? Bukankah kodrat bahwa mayoritas hendaknya melindungi dan menyayangi minoritas? Jika mayoritas yang perkasa melabrak minoritas yang rapuh itu bukan perjuangan keadilan, melainkan kezaliman dan kesewenang-wenangan kekuasaan mayoritas?

Sederetan pertanyaan itu sulit dijawab. Saya khawatir justru sentimen anti-China yang berkembang, baik saat aksi maupun di media sosial. Pada saat 4 November 2016, poster dan spanduk cukup elegan. Namun pada 21 Oktober, aksi diwarnai spanduk “Ganyang China”, “Usir China”; sangat-sangat rasis. Oh, tidak. Terlalu kejam menyeret isu rasisme dalam kasus Ahok.

Sentimen anti-China justru lebih menyakitkan, memunculkan borok paling perih dalam sederetan luka sejarah bangsa ini. Orang boleh mengutuk Ahok. Memang dia sering berkata tidak sopan. Dia menggusur tanpa belas kasihan. Kadang malah tidak menaati hukum, seperti dalam kasus Bukitduri. Namun siapa pun tidak berhak menyatakan seluruh Tionghoa terkutuk juga.

Siapa pun tidak berhak mengatakan, “China kafir.” Saudara kita kaum Tionghoa kebanyakan beragama Islam, Kristen, Buddha, dan Konghucu. Mereka bukanlah orang kafir, melainkan umat beragama. Bahkan Jaya Suprana dan Lieus Sungkharisma, yang juga tokoh Tionghoa, menyatakan terang-terangan berseberangan dengan Ahok.

Sebaliknya, diskriminasi berupa penyebar kebencian rasial saat ini sudah tak bisa lepas dari jeratan hukum, seperti telah saya uraikan di atas. Tengah hadir di tengah-tengah kita Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras. Undang-undang itu pun punya kelengkapan pidana khusus.

Pasal 15 akan menghajar siapa pun yang rasis dengan mengurangi hak etnis minoritas. Jika hak seorang keturunan India, umpamanya, mendapatkan sekuntum mawar, lalu penyedia karangan bunga mengganti dengan bunga bangkai karena melihat etnis Indianya, penyedia itu mesti diganjar maksimal satu tahun dan atau denda paling banyak 100 juta rupiah. Sementara Pasal 16 adalah palang pintu kereta yang menahan ujaran penyebaran kebencian ras dan etnis.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi dan Etnis adalah produk kejeniusan parlemen, kalau boleh harus diakui. Reputasinya sama dengan peraturan persamaan hak di Belanda (Wet Gelijke Behandeling).xxi  Setiap orang di Belanda, baik lanjut usia, difabel, perempuan, gay, lesbian, transgender, maupun warga kebangsaan asing, ramai hiruk-pikuk melaporkan setiap dugaan praktik diskriminasi. Dan, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 juga disepakati hampir setiap fraksi pada Rabu, 7 September 2005, di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara DPR/MPR.

Dra. Sri Harini dari Fraksi Partai Golongan Rakyat menyatakan, “Munculnya konflik horizontal atas dasar dikriminasi ras dan etnis, seperti kejadian Kerusuhan Mei 1998 dan beberapa konflik etnis di belahan wilayah Nusantara, menjadi bukti nyata betapa dahsyatnya kerugian yang kita terima dari konflik yang disulut oleh sentimen ras dan etnis tersebut.”

xxii

Sri Harini menyayangkan kerusuhan berlatar belakang etnis berlangsung saat reformasi. Kita butuh sebuah regulasi untuk menangkal. Panda Nababan dari Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan mengungkapkan hal yang sama. “Diskriminasi atau perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain yang didasarkan atas dasar ras, etnis, budaya, dan bahasa dan keyakinan merupakan perlakuan biadab dan karenanya tidak dapat ditolerir, karena jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara.”

xxiii

Panda Nababan yakin betul tindakan diskriminasi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Jadi Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar keberagaman dan multikulturalisme Indonesia. Partai yang berhaluan keagamaan, Fraksi Persatuan Pembangunan, yang diwakili H Muhammad Yus, mengemukakan perkara yang sama. Ia pun berkata, “Fraksi Partai Persatuan Pembangunan menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada rekan-rekan pengusul atas inisiatif dan upayanya dalam menyusun dan menyiapkan usulan inisiatif RUU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dalam wilayah hukum NKRI. Semoga inisiatif dan upaya rekan-rekan pengusul akan dicatat sebagai amal saleh dan akan dibalas oleh Allah SWT.”xxiv
Lebih lanjut Muhammad Yus menyambungkan dengan kaidah Surah Al-Hujaraat Ayat 13, yang menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 adalah sebuah regulasi indah, minus pelaksanaan. Tak banyak warga melapor. Seperti tak banyak pula orang yang percaya diskriminasi suatu saat akan berakhir. Padahal, Pasal 11 dan Pasal 12 undang-undang itu menyediakan peran serta masyarakat.

Masyarakat Tionghoa adalah kita, Indonesia. Kalaupun ente tidak suka pada Ahok, mari kita pikirkan satu sosok yang benar-benar bersih dari apa pun: Yap Thiam Hien. Seseorang yang pikiran, hati, dan tindakannya adil. Itu sudah lebih dari cukup untuk mencintai sesama saudara kita warga Indonesia. Tanpa diskriminasi!
           
            •           Awaludin Marwan adalah peneliti pada Pusat Studi Tokoh dan Pemikiran Hukum Indonesia (Pustokum) Jakarta. Prasaran ini pernah disampaikan pada kuliah umum di Epistema Institute, 2 Desember 2016.

i.  Adalah edisi pertama Tabloid Obor Rakyat yang memuat unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri dengan dugaan beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti Pasal 310 juncto Pasal 311 atas tuduhan fitnah, Pasal 156 dan Pasal 157 penyebaran kebencian atas dasar kelompok dan golongan, termasuk SARA, terlebih Pasal 16 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 yang fenomenal itu.

ii.  Wacquant percaya dalam pembagian devisi pada masyarakat pos-industrial menyebabkan banjir regulasi yang mengkriminalisasikan posisi minoritas. Yang parah, hal itu adalah genesis yang menampakkan wajah asli dari masyarakat modern pos-industrial. Yang akhirnya membangun difusi sosial yang menempatkan posisi minoritas dalam keadaan bahaya di antara bangunan “neoliberal Leviathan”. LoŃ—c Wacquant, “Marginality, Ethicity and Penality in the Neo-liberal City: An Analitic Cartography”, Ethnic and Racial Studies 2014, Vol. 37, No., halaman 1.687-1.711.

iii.  John D. Skrentny, The Minority Rights Revolution, 2002, Harvard University Press, halaman 88.

iv.  Dalam Keputusan Nomor 99 Peninjauan Kembali Tata Usaha Nasional 2016 Mahkamah Agung memutuskan sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh P.T. Semen Gresik (Persero) Tbk., di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah; 3. Mewajibkan kepada tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh P.T. Semen Gresik (Persero) Tbk., di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.

v.  Seri Buku Tempo: Penegak Hukum, Yap Thiam Hien, 100 Tahun sang Pendekar Keadilan, 2013, Kepustakaan Populer Gramedia.

vi.  Daniel S. Lev, No Concessions, The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyers, 2011, The University of Washington Press, halaman 301-310.

vii.  Todung Mulya Lubis, “’Teologi’ Yap Thiam Hien: Hukum, Keadilan, dan Hak-hak Asasi Manusia”, disampaikan dalam Yap Thiam Hien Lecture di Jakarta, 14 Juni 2011. Lihat, Josef P. Widyatmadja, Yap Thiam Hien: Pejuang Lintas Batas, 2013, Penerbit Libri, halaman 225.

viii.  Seyla Benhabib, The Rights of Others. Aliens, Residents and Citizens, Cambridge University Press, halaman 56.

ix.  John Rawls, A Theory of Justice, halaman 10. Secara abstrak, keadilan versi John Rawls adalah kontrak dan utilitarianisme yang terikat secara bersamaan. Sebuah kontrak yang disusun antara individu-individu atau kelompok dengan kesepakatan dari hasil diskursus rasional. Sebuah kontrak yang mendambakan sebuah kehidupan yang lebih baik, sebuah kehidupan yang menghasilkan banyak kemudahan dan manfaat bagi dirinya sendiri.

x.  Joseph Raz, Engaging Reason, On the Theory of Value and Action, 1999, Oxford University Press, halaman 281.

xi.  John Rawls, A Theory of Justice, ibid., halaman 14.

xii.  Pengaduan Komnas HAM RI pada 2011-2016.

xiii.  Pengaduan Ombudsman Republik Indonesia 2016.

xiv.  Costas Douzinas, Human Rights and Empire: The Political Philosophy of Cosmopolitan, 2007, Routledge, halaman 4-6. Negara Barat terjebak dalam sebuah dilema, apakah rezim hak asasi manusia yang sejati telah berakhir? Saat serangan teroris selalu dijadikan alasan dan kebijakan keamanan menyisir setiap sudut ruang-ruang publik, pemenuhan, penghormatan, dan pemuliaan hak asasi manusia menjadi barang langka. Satu sisi lain, hipotesis benturan peradaban sedikit demi sedikit menunjukkan kemiripan, Islam militan, bom bunuh diri, dan fanatisme agama menjadi-jadi, sementara pemerintah di berbagai negara menyikapi dengan membangun barikade, seperti Guantanamo Bay.

xv.  Seorang tokoh dalam novel itu adalah Kamerad Kliwon, pemuda tampan, cerdas, karismatik, dengan penguasaan teori marxisme dan leninisme yang tidak diragukan lagi. Dia dicintai banyak gadis desa. Pada saat masih muda, satu per satu gadis itu telah dia ajak berkencan. Namun dia mendadak mengakhiri karier sebagai cowboy, lantaran jatuh cinta pada Alamanda, gadis anak sulung Dewi Ayu, pelacur paling cantik Indo, yang sungguh dipuja sebagian besar lelaki Halimunda. Saat mereka beranjak dewasa, dan Kamerad Kliwon mulai mengunyah teori sosial kiri, mereka pun berpacaran, dengan ciuman terpanas sepanjang penglihatan masyarakat Halimunda, saat Kamerad Kliwon hendak kuliah ke Jakarta. Sial, hubungan jarak jauh mereka tak berhasil. Alamanda diperkosa Shodanco, lelaki mantan gerilyawan yang saat itu jadi kepala Rayon Militer Halimunda. Dari suami yang tak pernah Alamanda cintai itulah, pembantaian terhadap komunisme, yang tidak lain adalah kawan-kawan Kamerad Kliwon, berlangsung secara keji.

xvi.  Homo sacer adalah gagasan yang diungkap Georgio Agamben, filsuf dari Italia.

xvii.  Surat Departemen Keuangan Republik Indonesia Nomor S-928/A/51/0397 perihal Ralat Lampiran I Surat Menteri Keuangan Nomor S-394/MK.03/1989 tanggal 12 April 1989 tentang Petunjuk Penyelesaian Masalah Aset Bekas Milik Asing/China.

xviii.  Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia R-067/D/Op/01/1997 perihal Penanganan Organisasi Eksklusif Rasial.

xix.  Peter Goodrich, Law in the Courts of Love: Literature and Other Minor Jurisprudences, 1996, Routledge. London & New York, halaman 69.

xx. Saya menyalin Pasal 156 dan 156a itu dalam catatan akhir ini, sebagai berikut:
Pasal 156 Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

xxi.  Dalam pandangan good governance, National Human Rights Institute memperluas makna democratic systems of checks and balance on the exercise of power. Pemberian nasihat dan pendampingan administrasi untuk mengarusutamakan hak asasi manusia dalam memberikan pelayanan publik. Seperti Act of Parliament pada 6 Desember 2011 dalam the Bulletin of Acts and Decrees, menerbitkan sebuah lembaga, the Netherlands Institute for Human Rights (College voor de Rechten van de Mens), yang melakukan tugas, antara lain investigation, making reports, giving advice, providing information, ratification of human rights treaties, etc. Secara teoretis, the Netherlands Institute for Human Rights adalah lembaga yang bertanggung jawab menggunakan standar hak asasi manusia internasional untuk diterapkan pada hukum nasional. Sebagai sebuah institusi formal publik,  the Netherlands Institute for Human Rights mengadopsi — apa yang disebut — the Paris Principles from General Assembly of the United Nations Resolution 48/134 of 20 December 1993. Di mana a national institute yang berkompetensi mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, mempunyai mandat dari teks legislatif, mempunyai tanggung jawab harmonisasi kerangka hukum, menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia, membuat laporan, membangun jaringan, combating all forms of discrimination, etc. The Paris Principles juga memberikan wewenang pada National Human Rights Institute untuk diberi dana operasional yang cukup — dana sebelumnya untuk Equal Treatment Commission lebih dari € 5 juta — dan terdiri atas perwakilan seluruh kelompok masyarakat. The Paris Principles juga mendorong domestic enforcement of human rights through providing human rights education dan membangun kompetensi untuk menyelesaikan komplain melalui quasi-judicial procedure. Di Belanda, mekanisme quasi-judicial (Oordelen) itu banyak digunakan oleh komunitas etnis minoritas — dalam penelitian ini akan diuraikan bagaimana komunitas China dan Turki menyampaikan tuntutan, komplain terhadap diskriminasi. Semi-ajudikasi (oordelen) di the Netherlands Institute for Human Rights menjadi salah satu saluran hukum, di samping jalur perdata, administrasi, pidana, dan berbagai rezim hukum oleh etnis minoritas. Beberapa kasus yang menyangkut etnis minoritas juga ditangani di pengadilan. Dari mekanisme quasi-judicial itu terlihat bahwa komunitas China dan Turki mengajukan komplain soal hak persamaan pekerjaan, akses terhadap barang dan jasa, right to be heard, right to giving reasons, etc. Mereka mengajukan komplain atas perlakuan diskriminasi yayasan, pemerintah, dan pihak swasta melalui the Netherlands Institute for Human Rights.

xxii.  Dra. Sri Harini dari Fraksi Partai Golongan Rakyat, Rabu, 7 September 2005, di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara DPR/MPR.

xxiii.  Panda Nababan dari Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rabu, 7 September 2005, di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara DPR/MPR.


xxiv.  Muhammad Yus dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Rabu, 7 September 2005, di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara DPR/MPR

sedulur kendeng utara - rembang - blora


0 Response to "Teori Ketidakadilan terhadap Minoritas"

Post a Comment

Pijakilah Setiap yang Kau Baca dengan Komentar Manismu.