Media Indonesia Minggu, 09 Juni 1996
KESENIAN BURUH DAN SEMANGAT PEMBEBASAN
Oleh Sitok Srengenge *)
SECARA semantik kata buruh mengandung substansi yang relatif sama dengan kata pegawai, karyawan, pekerja, dan budak; namun cenderung mengindikasikan citraan moralitas dan politis yang berbeda. Akibat feodalisme dan politik bahasa, kata pegawai, karyawan, dan pekerja menyiratkan asosiasi kepada sesuatu yang formal-struktural, mapan, dan eufemistik. Sedangkan kata budak berkesan eksploitatif dan tidak manusiawi. Penggunaan kata buruh oleh kalangan masyarakat yang berupaya mengembalikan hak-hak azasinya dari jarahan kaum majikan, agaknya, dimaksudkan sebagai advokasi perjuangan eksistensial yang sekaligus membedakannya dengan golongan lain yang menyandang keempat kata predikat tersebut. Dengan demikian, pemilihan buruh sebagai identifikasi diri dan profesi cukup menegaskan adanya kesadaran dan semangat pembebasan.
Perlakuan terhadap kaum buruh di negeri kita memang masih mencemaskan. Tak jarang kita dengar kabar adanya perekrutan tenaga di bawah umur, eksploitasi jam kerja yang tak sebanding dengan upah yang sangat rendah, kurangnya jaminan keselamatan dan kesejahteraan, sering terjadinya tindak pelecehan, pemecatan sepihak, penyiksaan, bahkan pembunuhan. Juga tidak adanya kelonggaran untuk berpendapat dan berorganisasi dalam rangka memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak mereka yang azasi. Semua itu membuktikan masih berlangsungnya pelanggaran terhadap fitrah hidup manusia yang secara konstitusional mendapat jaminan perlindungan. Tak ubahnya perilaku dalam sistem perbudakan di zaman kuno.
Kesadaran dan semangat pembebasan kaum buruh itu antara lain termanifestasikan dalam bentuk organisasi independen sebagai alternatif dari wadah tunggal yang dilegalkan pemerintah. Pada lingkup yang lebih kecil, secara sporadis bermunculan pula komunitas-komunitas buruh dengan aktivitasnya yang rutin dan beragam. Wujud lain yang non-institusional adalah gerakan demonstrasi dan pemogokan.
Masing-masing perwujudan itu mempunyai efektivitas fungsi yang berbeda-beda. Yang institusional, misalnya, akan sangat berguna untuk jenis perjuangan yang besifat struktural, berkala, dan berkesinambungan, melalui program-program yang terencana, jangka pendek maupun panjang. Sedangkan yang non-institusional, seperti demonstrasi dan pemogokan (meski bentuk ini sangat mungkin termasuk program instisusi buruh), akan lebih cocok untuk jenis perjuangan yang temporal-situasional. Namun, dalam iklim politik yang represif, wujud perjuangan seperti itu akan dengan gampang dihambat, bahkan ditebas tuntas hak hidupnya. Organisasi dengan gampang bisa dinyatakan terlarang, demonstrasi dan pemogokan mudah ditertibkan sesuai aturan yang ditentukan secara sepihak, atau dibubarkan. Yang lebih tragis lagi, pelarangan dan pembubaran itu seringkali masih disertai intimidasi, tekanan fisik dan psikis, pemecatan, penangkapan dan pemenjaraan.
***
SALAH satu bentuk perjuangan kaum buruh yang tak kalah penting nilainya adalah aktivitas di bidang kesenian. Sebagaimana dapat kita cermati maraknya pementasan teater, musik, dan puisi yang dilakukan para buruh di pelbagai tempat dan kesempatan. Aktivitas kesenian itu bisa menjadi sarana penumbuhan nuansa dan acuan moral, sebagai penegasan gerakan yang juga ingin diaktualisasikan melalui organisasi, demonstrasi dan pemogokan yang acapkali diprasangkai punya tendensi maupun orientasi politik. Mengedepannya nuansa moral itu, barangkali, berkorelasi dengan karakter dasar seni itu sendiri yang cenderung simbolis. Disertakannya unsur-unsur estetika dalam pola gerakan kesadaran menjadikan ungkapan aspirasi mereka terasa lebih luwes dan mengandung daya renung.
Memang, kesenian mereka akan muskil melakukan pembongkaran atas borok-borok sosial-politik secara objektif dan frontal tepat ke sasaran. Namun setidaknya dapat dipahami sebagai kehendak lebih dari sekadar memenuhi hasrat manusiawi untuk berkomunikasi. Toh setiap komunikasi yang ideal meniscayakan adanya iklim kebebasan, dan yang paling fundamental dari komunikasi adalah kepentingan dasar manusia atas kebebasan beremansipasi menyatakan dirinya. Di sinilah kesenian buruh mendapatkan posisinya sebagai wujud sederhana dari upaya emansipatif.
Dengan demikian ia menjadi akomodatif bagi kepentingan yang memotivasi gerakan mereka, karena tidak mudah ditandai dengan kategori-kategori birokratis. Dari segi ini aktivitas kesenian yang mereka lakukan punya nilai strategis.
Kesenian kaum buruh mungkin juga dapat dimaknai sebagai suaka bagi kemanusiaan mereka sendiri. Secara fisik, terutama pada jam-jam kerja, mereka dapat ditundukkan oleh modal dan kekuasaan struktural di dalam perusahaan; namun dengan kesenian yang diciptakan sesungguhnya mereka telah membangun sebuah wilayah yang tak mudah dijamah. Di sanalah terjaga kehormatan mereka sebagai manusia merdeka. Di sana terdapat tapal batas yang tegas, yang memisahkan antara kemanusiaan dengan kekuasaan, antara hamba dengan tuan. Di sana kekuasaan struktural akan hapus, status sosial pupus. Segala bentuk hirarkhi yang dipertahankan kaum majikan, akan tertahan di luar pagar.
Secara umum kesadaran tematik kesenian buruh berkisar pada penderitaan orang-orang kecil, termasuk sejawatnya sendiri. Presentasinya mengandaikan semacam pewartaan bahwa, sebagai bagian dari realitas sosial, penindasan atas nasib mereka perlu diketahui oleh publik di luar dirinya. Dengan mewartakan ketertindasan itu bukan berarti mereka punya ambisi jadi pejuang, apalagi pahlawan kemanusiaan. Saya lebih menilainya sebagai upaya menumbuhkan keberanian untuk berbicara apa adanya, tentang kepedihan, kebingungan, dan keterbatasan mereka.
Mungkin juga tentang keinginan-keinginan sederhana, seperti hidup layak, aman, dan bebas dari segala bentuk kecemasan sosial. Atau, jika kesenian itu disajikan kepada kawan-kawannya sesama buruh, mereka ingin agar kawan-kawannya menyadari bersama bahwa diri mereka bukanlah warga negara yang sesungguh-sungguhnya merdeka. Tetapi juga bukan mesin yang harus selalu patuh, melainkan manusia yang sesekali sanggup menolak, mogok, bahkan melawan.
Penyair buruh dari Solo, Wiji Thukul, dengan sajak-sajaknya yang lugas, tegas, dan berani; mengesankan kesadaran seperti itu. Tak cuma dia, di beberapa tempat seputar Jabotabek, misalnya, bermunculan komunitas buruh yang aktif berteater. Ada juga beberapa orang di antara mereka yang giat menulis sajak. Sekadar contoh bisa disebut Wowok Hesti Prabowo, Dingu Rilesta, Nurjana Sutarji, dan Salim Sadzally.
Bahwa mereka asyik berkutat pada persoalan-persoalan kaumnya sendiri, barangkali lantaran mereka sadar: tidak cukup banyuak orang dari kalangan lain yang peduli. Kenyataan itu mengingatkan saya pada sajak ''Pertanyaan Seorang Buruh yang Membaca'', karya Bertold Brecht, yang baik pertamanya seperti ini:
Siapa yang membangun Theben dengan tujuh pintu gerbang?
Dalam buku-buku tercatat nama raja-raja
Apakah para raja yang mengangkut bongkah-bongkah batu?
Dan Babylonia yang dihancurkan berkali-kali
Siapa yang membangunnya kembali?
Di rumah-rumah mana
Apakah di Lima yang bersinar keemasan para kuli bangunan bernaung?
Kemana pergi malam hari, setelah tembok Cina dirampungnya, tukang-tukang batu?
Roma yang agung penuh gapura kemenangan. Siapa yang membangunnya? Siapa
Yang ditaklukkan para kaisar? Apa Byzans yang didengungkan
Punya istana untuk warganya? Di atlantis yang masyhur pun
Pada malam, ketika ditelan laut,
Para majikan yang tengah karam menyeru budak-budaknya.
Ya, begitulah. Dalam buku-buku terdapat (hanya) nama para raja. Sejarah hanya mencatat orang dan peristiwa besar saja. Bagi buruh dan umumnya rakyat, tak ada tempat. Bahkan dalam pemikiran filsafat, terutama pada zaman praindustri, di Timur maupun di Barat. Pada khasanah Timur, lihat misalnya filsafat India dan filsafat lain yang mendapat pengaruh darinya, posisi kaum buruh tak pernah dipercaturkan.
Dalam epos Ramayana dan Mahabarata hanya kita temukan serentetan silsilah dan konflik para babngsawan. Tidak disinggung siapa yang memproduksi bahan makanan, yang memelihara kuda dan taman-taman bunga, atau yang memasak di dapur umum ketika berkecamuk perang saudara. Bahkan, dalam akulturasi pewayangan di Jawa para punakawan bukanlah orang-orang yang bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan ''kasar'' seperti itu. Tak jauh beda dengan khasanah filsafat Barat.
Aristoteles, misalnya, berpendapat bahwa seseorang baru mengalami hidup secara manusiawi jika tidak lagi bekerja demi nafkah. Baginya, budak bukanlah manusia seutuhnya. Ia, agaknya, tidak menangkap adanya ketidakwajaran trselubung, bahwa kemanusiaan yang utuh itu tidak dimiliki kaum budak karena telah direnggut para majikan.
***
PANDANGAN terhadap eksistensi buruh baru sedikit berubah setelah pada abad ke-17 dan ke-18 perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan peradaban industri. Dalam sistem kapitalisme, di mana terjadi perguliran dari ekonomi natural ke ekonomi moneter, usaha mengoptimalkan produksi tanpa batas menjadi keharusna ekonomis. Di situ buruh, karena kompetensi kinerjanya, dipandang sebagai salah satu faktor utama produksi. John Locke bilang, mengerjakan suatu benda alam merupakan cara mendapatkan hak milik atasnya. Malah, kata Adam Smith, kerja jasmani adalah faktor tunggal yang menciptakan nilai tukar ekonomis.
Kendati demikian, dalam kenyataan dunia industri pemilikan atas alat-alat produksi berada di genggaman kaum majikan. Kaum buruh, dalam fungsinya sebagai salah satu faktor produksi, hanya dihargai sesuai hukum tawar-menawar –sebagaimana kaum majikan memperjualbelikan faktor-faktor produksi lain di pasaran. Dengan kata lain, buruh diperlakukan tak ubahnya mesin yang bisa diperas tenaganya dan tidak ditimbang harkatnya sebagai manusia yang punya rasa, demi produksi dan jargon etos kerja. Pantas jika Hegel melihat gejala hipokrisi pada praktek seperti itu: di balik keindahan retorika tentang etos kerja, bersembunyi kepentingan egois majikan atas pekerjaan buruhnya.
Beranjak dari fenomena seperti itulah, agaknya, Marx kemudian berhipotesa, ''Kerja hanya menjadi rutinitas yang fisikal bagi buruh, tidak menyentuh hakikatnya. Buruh tidak membenarkan, melainkan menyangkal dirinya di dalam pekerjaan. Buruh tidak bahagia, melainkan menderita. Pekerjaan tidak mengembangkan fisik dan mental buruh, melainkan mematikan raga dan melumpuhkan mentalnya. Buruh baru kerasan jika berada di luar pekerjaannya.''
Boleh jadi, komunitas dan aktivitas kesenian buruh itu termasuk salah satu wilayah yang dibangun untuk menemukan suasana kerasan di luar pekerjaan. Tidak lebih. Kesenian mereka tak mungkin diharapkan menjadi semacam sarana pembebasan atas telikungan belenggu nasib kaum buruh secara menyeluruh. Sebab, kita layak ragu, hal itu hanya dimungkinkan terjadi jika mereka menyadari pentingnya menyusun kekuatan dengan cara bersatu. Sebagaimana pernah diangankan seseorang dengan tulisan cakar ayam, dalam sajak ''Internasionale'' karya Goenawan Mohamad, pada bagian ini: Bersatulah buruh dunia, bersatulah!/ Kita yang dimiskinkan ...
*) Penyair dari Gorong-Gorong Budaya
**) Berkat jasa Leila S Chudori, tulisan hampir 17 tahun lalu ini bisa saya baca lagi dan saya bagi di sini.
CATATAN SITOK SRENGENGE