BERTANYA KEPADA GUSDUR (3)




* Gus bagaimana anda menyikapi pengharaman memakan daging babi ?



Gus Dur: Bilamana kita hanya menyandarkan pada konsep thelogi Asy’ari, yang dikenal sebagai bagian dari Ahl’Sunnah wal jamaah, yang mengatakan bahwa; sebab Allah melarang atau memerintahkan sesuatu adalah karena iradat-Nya yang mutlak atau absolut, dengan mengutip ayat-ayat yang dengan jelas menyatakan bahwa memakan babi adalah haram hukumnya, seperti dinyatakan dalam Alquran Surat Al-Baqarah; ayat 173, Surat Al-Maidah; ayat 3 dan Surat Al An’am; ayat 145 dan Surat An Nahl; ayat 115, maka selesailah suatu perkara. Dan pendekatan seperti ini, yang lebih mengacu pada arti harfiahnya atau yang juga dikenal sebagai pendekatan tekstual/skriptural, yang disukai kaum Salafi, sangatlah dibenarkan.

Sementara, kita kenal dalam Islam terdapat juga mazhab berlandaskan konsep theologi yang berlainan pendekatan dan cara berpikirnya, yaitu theologi Muktazilah, yang merupakan bagian dari penganut Ahl Akidah Wal Adalah, yang berpendapat bahwa; ketika Allah mengharamkan sesuatu atau memerintahkan sesuatu adalah karena adanya sebab material atau konsep yang melatar belakanginya. Yang dikenal sebagai pendekatan konseptual.

Dengan menyadari bahwa perbedaan pendekatan dalam melakukan tafsir adalah sebuah keniscayaan yang dihadirkan Tuhan, maka tiada salahnya dipahami juga bagaimana argumentasi kaum Muktazilah dalam menentukan sikap saat harus mengharamkan atau menghalalkan suatu tindakan dalam sebuah perkara, yaitu dalam kaitan ini pengharaman memakan Babi.

Pemahaman berpendekatan secara konseptual holistic, mengharuskan kita mengamati dengan cermat dan jeli rumusan kalimat ayat-ayat pengharaman.

Ternyata, ketika kita amati, tersurat dan tersirat dalam ayat-ayat pengharaman tersebut diatas;

Pertama, pengharaman babi tidak merupakan ayat yang berdiri sendiri, melainkan bersamaan dengan pengharaman darah, bangkai dan rumusan pengharaman atas binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah dan larangan melakukan penyembelihan untuk berhala.

Kedua, pengharaman tersebut erat berkaitan dengan konsep Islam tentang etika dan hakikat (esensi) menyikapi hidangan berupa makanan atau santapan, sebagai bagian dari santapan jasmani dan ruhani, yang harus diletakkan sebagai pelaksanaan aqidah; hablum minallah dan hablum minannass, disamping dalam rangka melaksanakan kewajiban menempatkan agama dalam perannya sebagai ajaran moral untuk menjaga manusia dalam kesadaran akan kodratnya sebagai manusia (in a state of human being), dan bukan dalam kesadaran hewan atau setan, atau tanpa kesadaran sama sekali, seperti orang yang berpenyakit jiwa.

Ketiga, ternyata alasan pengharaman memakan babi, menyantap darah cair dan bangkai, dinyatakan jelas dalam Surat Al An’am, yaitu; karena semua itu “kotor” !

Kita ketahui, kelahiran Islam adalah memberi umatnya kebebasan berpikir dan pembebasan dari memikiran yang mistik/klenik atau taklid sifatnya, dengan demikian transendensi[i] umat tidak terdistorsi sehingga dapat mencapai kekhusyukan, yaitu nuansa seolah kita sedang berhadapan dengan-Nya, dan selanjutnya, imanensi[ii] umat membuahkan perenungan yang mendalam, yang benar-benar mampu menghadirkan cahaya ilahi (ruh Tuhan) dalam dirinya.

Itulah yang dimaksudkan dalam rumusan yang terkait santapan ruhani, sehingga dalam menyikapi hidangan, umat Islam diharamkan untuk memakan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.

Berdasarkan telaah diatas, menggunakan pendekatan konseptual, rasanya dapat disimpulkan bahwa;

Babi, darah dan bangkai adalah representasi/simbolisme kekotoran berbagai hidangan yang dihasilkan dari binatang yang dibunuh untuk dimakan, yang dengan demikian diharamkan.

Babi adalah representasi binatang yang habitat dan santapannya kotor, sehingga fisiknya secara keseluruhan kotor !

Darah adalah representasi/simbolisme makanan yang menjijikkan, karena cairan darah yang keluar dari tubuh hewan atau manusia membuahkan kesan jijik.

Bangkai, adalah representasi/simbolisme makanan yang jorok, karena bangkai adalah keadaan binatang yang telah membusuk, yang dengan demikian selain menimbulkan bau, jasad renik yang muncul dapat membuahkan penyakit yang mengancam kesehatan.

Kesehatan jasmani dan ruhani umatnya adalah tujuan yang ingin dicapai oleh agama, hingga perlu dihadirkan pesan kuat, yang disertai sangsi, untuk mengarahkan umatnya agar menyantap makanan atau hidangan yang membuahkan kesehatan jasmani dan ruhani, yaitu yang terutama adalah menghindari makanan/hidangan yang kotor.

Dengan demikian, menggunakan pendekatan konseptual, tidak hanya babi saja sebagai hidangan untuk dimakan yang diharamkan, melainkan berbagai makanan yang sifat dan keadaannya dapat dikatakan kotor, juga diharamkan



Tetapi apakah ada pertimbangan atau perspektif lain dalam menyikapi pengharaman ini ?



Gus Dur : Yang tidak disadari, dan ini yang kita khawatirkan, ternyata pengharaman dapat membuahkan sikap dan perilaku yang bersifat;



Pertama, sikap dan perilaku taqlid, sebagaimana taqlid yang dilakukan segolongan umat yang digambarkan oleh Surat At-Taubah ayat 31: "Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah."

Kedua, takhayul, yaitu sesuatu yang hanya ada dalam khayal belaka (halusinasi) atau kepercayaan kepada sesuatu yg dianggap ada atau sakti, tetapi sebenarnya tidak ada.

Takhayul lain dengan mukjizat. Mukjizat adalah sesuatu keanehan atau keajaiban yang datangnya dari Allah, yang dengan demikian kita lebih merasakan keagungan dan kemuliaan-Nya. Sedangkan takhayul menempatkan diri manusia lebih rendah, lebih lemah atau ketakutan akan kekuatan yang dihadirkan setan.



Dalam hal pelarangan memakan babi, berdasarkan pengharaman yang ditetapkan penganut konsep thelogi Asy’ari; "sebab Allah melarang atau memerintahkan sesuatu adalah karena iradat-Nya yang mutlak atau absolut", dapat dimengerti dan dibenarkan. Tetapi bila dengan sangat jelas dinyatakan dalam Alquran, bahwa yang menjadi pertimbangan pengharaman adalah kekotorannya, seharusnya kita mempertanyakan, mengapa seseorang begitu ketakutan akan dosa memakan daging babi, sementara tak merasa berdosa sama sekali ketika memakan terasi. Padahal terasi adalah kumpulan bangkai ikan yang lebih jorok dan menjijikkan dari pada daging babi, yang juga diharamkan dalam ayat yang sama dengan pengharaman memakan daging babi.



Mungkin perlu kita menyimak juga pertimbangan pengharaman berdasarkan theologi Muktazilah, yang perpandangan bahwa; "ketika Allah mengharamkan sesuatu atau memerintahkan sesuatu adalah karena adanya sebab material atau konsep yang melatar belakanginya", seperti yang saya terangkan sebelumnya. Yang dikenal sebagai pendekatan konseptual.

Berdasarkan pendekatan ini, kebersihan jasmani dan ruhani yang dijunjung tinggi oleh Islam, dengan menghindari “kekotoran”.

Karenanya, sebelum shalat, umat Islam diwajibkan berwudlu, yang secara harfiah dan simbolik, tujuannya untuk membersihkan kekotoran jasmani dan ruhani, ketika hendak melakukan kontak batiniah dengan Sang Khalik.

Kita memahami bahwa ludah anjing dinyatakan najis, karena kotor. Demikian pula kencing binatang.



Dengan demikian, ketakutan berlebihan memakan daging babi, sementara disisi lain mengabaikan larangan memakan makanan yang memiliki dasar pengharaman serupa, menunjukkan munculnya taklid dan takhayul yang merupakan kemunduran cara bersikap dan berpikir umat Islam.



*Lalu, mengacu pada surat Al-An’am yang menghalalkan binatang yang dapat diternakkan, yang merupakan binatang umumnya yang kita kenal, yang dapat dijaga kebersihannya, apakah babi yang bukan jenis babi yang hidup di semak-semak atau di hutan, yang banyak diternakkan di Asia, juga dihalalkan untuk dimakan ?



Gus Dur: Pikir saja sendiri. Gitu aja kok repot !









[i] Menjangkau Sang Khalik di luar batas kemampuan manusia dan semesta alam.



[ii] Menghadirkan Tuhan dalam diri seorang insan beriman.