Penjagal Itu Telah Mati
Cerpen Gunawan Budi Susanto
DIA mati. Kematian yang wajar. Kata orang, lantaran sakit menahun. Tetapi kabar kematian itu baru saya dengar setelah sekian lama. Kabar kematian yang diam-diam saya syukuri.
Betapa tidak? Dialah penjagal haus darah itu. Di tangannya, sapi-sapi bertumbangan di pejagalan. Tertebas goloknya. Namun, kemudian, di tangannya pula orang-orang bertumbangan di tepian hutan. Tertebas pedangnya.
Saya mendengar: dia menyatakan telah mencabut berpuluh-puluh nyawa manusia. Dia membunuh dengan tangan sendiri. Dan, dengan bangga pula pengakuan itu dia katakan di hadapan ratusan, bahkan mungkin ribuan, orang di alun-alun kota.
Tahun 1977, masa kampanye pemilihan umum. Hampir setiap hari silih berganti partai-partai berkampanye, arak-arakan, berkumpul di lapangan atau alun-alun kota. Para juru kampanye adu keras suara, adu janji, adu kecaman, adu ancaman. Dan, dia adalah juru kampanye partai penguasa. Juru kampanye paling galak, paling bersuara keras, meledak-ledak. Suaranya mengoyak langit kota, mengebor kuping setiap pendengar di lapangan atau pendengar radio.
“Ora kurang saka wong seket wis mati ning tanganku! Ya, tak kurang dari lima puluhan orang sudah kubunuh. Dengan tanganku. Tangan ini,” ujar dia seraya meninjukan tangan kanan ke langit. “Ya, tangan ini!”
Suaranya menggelegar, lalu bersipongang ke segenap penjuru mata angin di alun-alun. Orang-orang terdiam. “Sampean boleh coba. Kena tangan kiri, masuk rumah sakit. Tangan kanan, masuk kuburan! Itu pula yang bakal dialami para perusuh, yang menjelek-njelekkan golongan kita. Ya, siapa berani melawan golongan kita berarti menantang saya!” lagi-lagi suaranya menggelegar, dan menyusup jauh ke liang kuping siapa pun. Bertahan berlama-lama di hati siapa pun yang mendengar.
Malam itu, seusai kampanye, orang-orang di warung kopi, di pojok-pojok kampung, atau di mana pun bakal membicarakan dia dan segala ucapannya. Yang bersetuju akan berucap berterang-terang, sekeras mereka bisa. Memuji-muji dia sebagai lelaki paling pahlawan, lelaki pemberani, lelaki keras dan tegas. Berani berbuat, berani bertanggung jawab, dengan segala risiko, dengan segala akibat. Sebaliknya, yang tak bersetuju berbisik-bisik seraya menjelingkan mata kian-kemari, khawatir didengar entah siapa yang mungkin membuat sang pengucap bakal berurusan dengan tangan kiri atau malah tangan kanan sang juru kampanye pilih tandhing, tiada bandingan, itu. Jika itu terjadi, jelas malapetaka bagi siapa pun dan seluruh keluarganya.
Seperti dulu, beberapa tahun lalu. Tumpes kelor, dibinasakan sampai ke anak-cucu! Sementara dia, sang juru kampanye itu, menjadi anggota parlemen yang terhormat.
***
“DIA memang telengas. Hampir setiap malam, ada yang dia tebas dengan pedang. Lalu, orang-orang kampung yang dia minta menguburkan mayat orang-orang itu. Di lapangan pinggir desa itu ada belasan mayat kami kubur,” ujar Mbah Reso seperti gumam. “Saat itu siapa pun, termasuk saya, tak berani membantah perintah dia untuk menggali lubang dan mengubur jasad mereka.”
Lelaki tua itu terdiam beberapa saat. Matanya menerawang jauh.
“Siapa yang dibunuh dan dikuburkan itu, Mbah? Lelaki, perempuan? Tua, muda? Ada yang sampean kenal?” tanya saya, setelah sekian lama dia terdiam sembari terus menatap sesuatu, entah apa, di kejauhan.
Mbah Reso tergeragap, “Ah, maaf, Gus.” Dia menghela napas panjang. Menjangkau gelas di atas meja, lalu menyeruput kopi hitam kental yang disuguhkan anak perempuannya. Lalu tangan yang mengeriput itu mencekau tembakau dari dalam plastik, melinting dengan kertas tipis setelah mencampurkan remahan cengkih. Rada gemetar dia menjentikkan korek dan menyulut rokok. Ketika menyedot, pipinya mengempot. Dia seperti memeram sejenak asap rokok di dalam rongga dada, sebelum mengepulkan perlahan-lahan. Bau tembakau terbakar segera mengisi ruangan. Ampeg.
“Ya, Gus, hampir semua saya kenal. Mereka tetangga saya, bahkan beberapa saudara sepupu saya,” tutur Mbah Reso. “Saat itu umur saya likuran, Gus. Sudah beberapa tahun menikah, tapi kami belum punya anak. Titin, yang menyuguh kopi tadi, sulung saya. Dia lahir setelah Gestok, eh Gestapu. Ah, setelah saya keluar tahanan. Lalu, setiap dua tahun lahir adik-adiknya. Nrecel, Gus.”
Saya ganti terdiam.
Saya menemui dia atas rekomendasi Badrun, yang bertahun-tahun bersama beberapa kawan muda NU, mendampingi mereka, para eks tahanan politik (tapol) 65. Ya, anak-anak muda itu dengan segala keterbatasan, dan bukan tanpa cemooh dan risiko berhadapan dengan aparat keamanan dan aparat pemerintahan yang masih bercuriga terhadap segala yang berbau 65, melakukan gerakan nguwongke uwong, memanusiakan manusia. Mereka menyapa, bertandang, dan mendengarkan kisah atau keluhan para eks tapol, yang sebagian pernah diasingkan ke Pulau Buru itu. Lalu, jika mungkin, mengembalikan rasa percaya diri mereka sebagai manusia, sama seperti manusia lain.
Mbah Reso adalah salah seorang yang diciduk dan ditahan. Dari penjara lokal, di B, kemudian Mlaten Semarang, dan terakhir di Nusakambangan. Tak lama, katanya. “Cuma 15 hari, enam bulan, empat tahun,” ujar dia sambil terkekeh ketika kali pertama saya, diantar Badrun, menjumpai lelaki tua yang masih pengkuh itu. Humor yang getir.
Namun, bukankah dia salah seorang di antara warga kampung itu yang acap diperintah mengubur mayat orang yang dibunuhi di kelengangan malam, di pinggiran hutan itu? Jadi, bisa dibilang, dia bagian dari para algojo itu bukan? Dus, bukan korban?
“Jalan hidup acap tak terduga, Gus. Bukan kita yang menguasai hidup kita. Bukan! Ada kuasa lain di luar diri kita, yang bahkan berwenang mengatur jalan hidup kita,” tutur Mbah Reso.
“Siapa, Mbah?”
“Bukan siapa, Gus. Apa!”
“Apa, Mbah? Tuhan?”
“Kayane gak ana urusan karo Gusti Allah, Gus, meski nama Tuhan acap dibawa-bawa. Negara, Gus, negara kadang ngalah-ngalahke Gusti Allah.”
Saya kembali terdiam. Tertunduk, kelu.
“Dan dia wujud nyata kekuatan tak terlawan, Gus. Kekuatan yang melibas siapa pun, melindas apa pun, yang dianggap membahayakan, yang dianggap berkhianat kepada negara. Mereka, orang-orang itu, kemudian dibunuh, Gus.”
“Dan, Mbah Reso? Kenapa sampean tersangkut-sangkut, sampai ditahan pula? Padahal sampean acap diminta membantu mengubur jasad orang yang disebut pengkhianat itu bukan?”
“Dia pula yang menyeret saya, Gus. Dia!” sahut Mbah Reso.
***
TEGAR Alam Bahrul Ahmadi Husaini namanya. Anak kiai terkemuka di kota kita. Muda, gagah dan tampan. Dia memimpin barisan kaum muda dan segera jadi anutan bagi mereka. Dengan pakaian seragam bak tentara, berbaret hijau pula, siapa di kota kita tak mengenal dia?
Para gadis berebut perhatian. Para orang tua saling mendahului sowan sang kiai, mengadu peruntungan: siapa tahu bisa mengambil dia sebagai menantu. Namun orang-orang itu undur diri ketika mendengar sumpah dia: tak akan menikah sebelum kekuatan merah lenyap dari kota kita.
Maka, ketika terdengar kabar kaum merah di Jakarta membunuhi para jenderal dan mencemplungkan mayat mereka ke lubang sumur mati, dia pun berdiri paling depan, mengepalkan tangan: bunuh semua kaum merah! Dia segera dipercaya memimpin barisan, menggelandang siapa pun yang dianggap merah, siapa pun yang dicurigai memihak kaum merah. Dia pula yang dipercaya jadi algojo, penjagal. Ya, dialah algojo paling jago, paling berani, paling digdaya, paling berangasan.
Berkali-kali saya dan warga kampung diperintah menggali dan mengubur jasad orang yang dia bunuh di tepian hutan. Kami tak berani membantah, tak berani menolak perintah.
Kami kaya gabah den interi, bak butiran beras diayak di atas tampi. Dan, saya seperti sebutir gabah berkulit yang tak diinginkan ketika suatu ketika, lantaran takut dan kecapekan, menggerendeng sendirian. Celaka, dia mendengar!
“Apa kaubilang? Heh, apa kaubilang? Mereka pun mengenal Tuhan? Dan kau mau bilang aku tak kenal Tuhan?” bentak dia sambil melarak tubuh saya menjauh dari lubang yang belum rampung kami gali. Tak terhitung berapa kali dia menampar kepala saya sehingga oleng ke kanan dan ke kiri. Lalu, bluk! Saya tak sadarkan diri.
Tahu-tahu, saya sudah berada di sebuah sel bersama puluhan orang lain. Dari B saya dipindah ke Semarang, lalu terakhir di Nusakambangan. Setiap kali diperiksa, saya digebuki. Berulang-ulang. Lalu kerja paksa. Begitulah, saat pembebasan tiba, saya kembali ke desa, ke keluarga saya. Alhamdulillah, mereka menerima saya apa adanya. Namun, tentu, jabatan petengan tak bisa lagi saya sandang. Saya pun jadi petani. Sesekali jadi buruh penebang pohon, mblandhong. Bertahun-tahun, berbelas tahun.
Suatu hari saya dengar dia meninggal. Saya merasa plong, Gus. Sesuatu yang selama ini mengganjal dalam pikiran -- ketakutan jika sewaktu-waktu kembali diciduk jika dia masih hidup -- melenyap. Diam-diam, tanpa setahu siapa pun, keinginan saya mengisi perut dia dengan penggorengan agar tak bisa bangkit dari tempat tidur sudah menemu jalan penyelesaian. Dia mati. Dan saya bersyukur, sungguh bersyukur. Kini, saya berharap bisa lebih tenteram momong cucu. Itulah keinginan saya, Gus. Cuma itu.
Kota Lama, 30 Januari 2013
Catatan:
Ora kurang saka wong seket wis mati ning tanganku!: Tak kurang dari lima puluhan orang telah mati di tanganku!
Pilih tandhing: tiada bandingan.
Tumpes kelor: dibinasakan sampai ke anak-cucu.
Ampeg: bau sengak.
Nrecel: kelahiran anak yang susul-menyusul.
Nguwongke uwong: perlakuan secara manusiawi.
Pengkuh: sentosa, sehat walafiat, kukuh.
Kayane gak ana urusan karo Gusti Allah: Sepertinya tak berurusan dengan Tuhan.
Ngalah-ngalahke Gusti Allah: mengesampingkan Tuhan.
Sowan: menghadap.
Kaya gabah den interi: bak butiran beras diayak di atas tampi.
Petengan: (kini:) kepala urusan kesejahteraan rakyat di desa/kelurahan.
Mblandhong: menjadi blandhong, buruh menebang dan mengangkut kayu di hutan.
(Dimuat dalam rubrik “Serat” Harian Suara Merdeka, Minggu, 17 Februari 2013, halaman 24)