KAN? 2 - Cerbung Rini Purnomo




"
Baiklah, aku turutkan
saja apa maumu, sekarang tolong kau sebutkan dimana tempatnya, "

" 15 menit selepas sekarang kupastikan ada orang yang akan datang
kerumahmu untuk memberitahukan siapa dan dimana kau harus
menghabisinya,"

" Oke...."

" Ya sudahlah, aku tunggu berita darimu nanti, kuharap yang terbaik,"

Telepon kembali bisu, angin mulai kepayahan menggangguku sementara
gambar bintang porno yang ada dikamarku menjadi hantu yang tak pernah
tidak kutatap saat aku akan masuk kamar mandi.
Dan Kamar tidur ini sudah dibedaki debu sejak rumah kontrakan ini
kutempati lima tahun yang lepas, sejak aku memilih mencari kebenaran
dari apa yang aku dengar tentang ibuku. Dan debu ini semacam panorama
spesial sekaligus virus juga bakteri yang jika aku alergi pastilah si
sinusitis yang keparat itu menginap jua dibadanku. Aku berdiri,
mengibaskan selimut dan debu debu muncrat ke sekelilingku. Aku beranjak
kekamar mandi. Ku tatap poster bintang porno sembari berkata,"
seandainya kau tidak cuma poster, sudah ku ajak kau bercinta di kamar
mandiku yang penuh kecoa, bukankah itu ekstrim untukmu? ".


aku masih telanjang bulat saat pintu rumah kontrakanku berisik karena
ketukan seseorang. Aku bergegas mengenakan pakaian seadanya, tanpa
bersisir aku menuju kepintu. Di sana ku dapati seorang pria dengan tubuh
layaknya preman pasar, memakai jaket hitam senada dengan warna kacamata
yang menduduki hidungnya.

" aku mengantarkan barang yang kau butuhkan " sebuah amplop berwarna
coklat tua tanpa motif, sebesar buku tulis di sodorkannya ke arahku.

Aku menerimanya dengan lekas lalu ku selipkan di celana bagian
belakangku, " terima kasih. Boleh aku bertanya tentang sesuatu, tentang
yang tadi kuselipkan di dekat pantatku?"

" tanyalah, aku jawab jika tak terlalu berlebihan,"

" apa kau tau sebab yang jadikan orang itu memintaku melakukannya?"

" bosan,"

" itu saja? "

" kurang lebih "

" oh, ya? "

" iya. Ya, sudah. Aku minta pamit, kerjaku sudah selesai " lelaki itu
pun pergi, membawa segunung penasaranku.


*****

Sudah malam, bulan sudah naik ketengah saat aku berjalan ke tempat yang
ada dalam coklat tua. dan angin berbeda dengan malam kemaren, sangat
gemulai dalam geraknya menyentuh dahiku.

Malam ini aku sengaja memakai pakaian warna hitam, senada dengan warna
malam sisanya adalah untuk menyamarkan adaku pada alam semesta. mencoba
mencurangi bulan yang mungkin sedang berkirim kabar pada orang orang
yang nanti akan melihatku, juga untuk menyembunyikan getirku pada lelaku
yang sekejap lagi akan ku tunaikan.

Aku meninggalkan sepeda motorku diantara rimbunnya semak semak sembari
berharap tak ada sesiapa pun yang bakal menemukannya selain akan kembali
padaku juga.

Aku sudah berjalan lebih jauh dari tempatku menyembunyikan sepeda
motorku, lampu lampu penerang mulai sedikit sementara pepohonan makin
banyak dan rapat di pinggir jalanan yang kulewati.

Sebuah rumah yang halamannya penuh tanaman hijau nampak bergoyang dengan
lembut saat angin datang menggoda, penerangan terasa sangat miskin
untuk rumah yang sebesar gedung. Aku mulai mendekat kearah pintu depan
setelah yakin kalau inilah rumah yang sesuai dengan alamat yang tadi
mengaso di balik jaket hitamku. Pintunya entah kenapa tidak terkunci,
aku masuk diam diam. Dan di dalam rumah gelapnya habis habisan, tak ada
nyala lilin apalagi lampu listrik. " penghuni yang kikir! " umpatku
dalam hati tapi tidak kupungkiri juga bakal bikin lancar kerjaku karena
tidak musti repot repot bersembunyi macam maling ayam.


Ada suara dengkur dari bagian ekor rumah, aku berjalan pelan, tiap tiap
kamar ku intip tapi tetap tak ada sesiapa pun disana. aku terus menuju
ke ekor rumah, tidak jauh dari tempatku berdiri terlihat cahaya ranum
dari kamar yang kurasa paling ekor memang. aku makin mendekat, aku
melihat seorang wanita tua tengah tidur dengan lelapnya.

hatiku berujar diantara kegetiranku yang rimbun " benarkah dia orangnya?
betul diakah yang musti habis nyawanya ini malam oleh tanganku? ". aku
menghela nafas panjang dengan pelan dan entah karena bentuknya yang
renta atau memang aku karena aku tidak lagi garang pada pekerjaan ini
tapi yang jelas tiba tiba aku menjadi kasihan betul pada dirinya. sebelum semuanya menjadi kacau, akhirnya lekas lekas aku buang perasaan kasihan itu, " ini musti, kali terakhir tak jadi soal jika harus kuhabisi dia. demi Ayah, demi malaikat tanpa sayap yang telah membesarkanku dengan cinta kasihntapi kutinggalkan dengan kejam, ya, demi Ayah semua musti tuntas! "