KAN? - Cerbung Rini Purnomo





'Kan

kamu bukan orang baru
dalam hal seperti ini, sudah lama, setidaknya itu yang sampai
ketelingaku oleh dia yg memberikan nomor ponselmu ke aku, benar
begitukan? Tanya seorang pria
ditelepon selulerku.

Angin bertiup kencang, mendesak diantara dedaunan, " tapi aku juga bukan
orang yang musti selalu berani, kau juga musti tau aku sudah lama tidak

melakukannya, hampir tobat aku ini," sahutku dengan suara lemah,
berharap dia yang diseberang mau mengerti.

" Akan aku bayar dengan bayaran tinggi kau nanti, berapapun asal kau
singkirkan dia dari kehidupanku,"

Angin makin tajam, dingin makin menusuk dan segala yang kukandung
dibadan makin tak kuat menahan dingin. " kupikirkan juga katamu tapi
tidak bisa kujawab sekarang, kau musti beri aku waktu satu dua hari
kedepan,"

" baiklah, aku kasih kau waktu dua hari, tak dapat lebih sebab aku butuh
kau untuk
singkirkan dia dalam waktu tak jauh dari kini,"

sambungan telepon terputus, aku masih duduk pasti di jendela kayu yang
terbuka. Dengan wajah yang kubuang
kelangit, aku mencoba menikmati bulan yang sudah naik dari tadi dan
diluar angin masih menderu dengan kencang.

" Mada, kau musti pulang. Ayahmu sedang sakit, dia sebutkan namamu tiap
waktu. Segera pulang, ya." sms itu sudah kubaca berulang ulang dari dua
hari
yang lewat dan jika tak ada alasan yang menahan pasti aku sudah
pulang dari yang sekarang. Aku tak punya uang, aku tak ada apa yang
bakal bisa kujadikan dagangan untuk menghasilkan uang. Pasrah saja aku
pada keadaan yang kemaren.


*****

" Kau anak ayah, di lahirkan oleh seorang wanita ", selalu hanya itu
jawaban yang ayah kasih untuk setiap pertanyaan yang kuberikan. Dan bila
aku memaksa lebih dalam, ayah lebih memilih diam atau pergi masuk
kamar.


oleh aku memang berhati tak suka menyerah maka kucari juga keberadaan
ibu. dan apa apa saja yang kurasa menjadi pengait antara ayah dan ibu
selau kujadikan landasan bertanya. dan akhirnya kebenaran itu datang,
aku gusar besar terhadap bapak. aku membencinya dengan sejadi jadinya
sampai aku lupa dialah malaikat penjagaku sampai kemudian kenyataan
membuat aku sadar betul dia berbohong terhadapku.


Sebelum semuanya terang benderang, memang tak ada alasan untuk tidak
mengatakan Bapakku malaikat. Bahwasanya penguasaan emosi juga
kesabarannya tidak pernah tidak terkontrol. Pernah suatu hari aku
sengaja membuatnya gusar dengan pergi berhari hari tanpa pamit tapi dia
tetap saja menjadi bijak. Menuliskan sebait kata kata pada selembar
kertas dan diletakannya di bawah bantal, " Mada, ayah kecewa kau menjadi
begitu tak sopan, tapi aku tak bisa menyalahkanmu karena mungkin saja
itu bagian kecewamu oleh waktu ayah yang sedikit untuk bersamamu dan
bersenang senang, maafkan jika ayah telah menjadi ayah yang buruk
belakangan ini,"


*****
Sudah pagi ketika aku baru terbangun dari tidurku semalam. Jendela itu
masih menganga dan entah alasan apa hingga pagi ini penuh dengan
persekutuan angin yg mencoba mengganggu rambutku, mengibarkan daun
jendela sampai begini ribut. Mencoba menenggelamkan lagi aku yang masih
di balik selimut.

Telepon berdering, nomor yang sama dengan yang kemaren.

" Hallo...."

" Iya.... "

" Aku tidak bisa menunggu lagi, benar benar sudah tidak tahan aku
melihatnya di rumahku ,"

" Baiklah, akan aku kerjakan tapi kau harus sedia untuk menyiapkan apa
apa saja yang kubutuhkan untuk pulang ke kampung halamanku, tentu dengan
sejumlah bayaran yang musti kau penuhi,"

" Aku penuhi, apa saja asal kau lenyapkan dia selamanya dari hidupku,"