Prolog
Pernahkah kita mendengar ujar yang begini : "Saya, kalau menulis puisi itu hanya butuh waktu sepersekian menit saja, sudah bisa saya selesaikan satu buah puisi malah dalam satu hari bisa saya ciptakan 3 sampai 5 puisi". Bagaimanakah tanggapan FAMili sekiranya ada mendengar hal seperti itu?
Sekilas kita akan memuji yang bersangkutan dengan rasa kagum, karena begitu piawainya dia merangkai kata, pandainya menerjemahkan intuisi lewat imajinasi yang cerah, begitu bukan? Ya, begitulah sering yang terjadi. Keaktifan seseorang dalam menghasilkan karya sebuah puisi sampai mencapai 5 (lima) buah puisi perhari menjadi salah satu kriteria kita memuji kehebatan kepenyairannya. Saya pun juga begitu, setidaknya sampai malam ini dimana menjadi malam yang begitu berharga bagi saya, karena terlibat diskusi yang menarik dengan salah seorang penikmat sastra dan budaya Sumatera Barat yang juga berprofesi seorang pendidik, Bapak Faisal Zaini Dahlan yang juga salah seorang pemberi endorsement dalam buku puisi terbaru saya, Siluet Tarian Indang. Beliau mengalirkan secercah ilmu bagi saya tentang bagaimana seninya menikmati seni (istilah ini sebenarnya berasal dari Andrea Hirata dalam novel Tetralogi Laskar Pelangi-nya). Setidaknya, sampai saat diskusi terjadi, saya adalah termasuk orang yang mengagumi kepiawaian seseorang yang bisa menciptakan 3 (tiga) sampai 5 (lima) puisi tadi.
Kualitas Bukan Kuantitas
Puisi, merupakan sebuah karya tulis yang ekseklusif. Kenapa demikian? Karena tidak semua orang mengerti dengan puisi. Puisi yang ditulis seorang penyair merupakan limpahan daya cipta hasil perenungan dari sebuah visi, intuisi atau visual dimana kemudian akan memberikan kepuasaan tersendiri bagi seorang penyair bila sudah menumpahkannya menurut caranya sendiri. Maka jadilah dua buah kata seperti "Uh" itu bisa jadi puisi, atau rangkaian tanda baca yang dituliskan dengan teknik tertentu itu juga bisa jadi sebuah puisi, dimana dengan menuliskan itu seorang penyair sudah merasakan kepuasaan hasil cipta karsanya. Namun, pernah jugakah FAMili mendengar ungkapan bahwa seonggok kotoran yang diletakkan diatas sebuah batu oleh seorang seniman besar dan ternama belumlah bisa disebut sebagai karya seni? Nah !! disinilah kita bicara kualitas. Siapakah yang menilai sebuah puisi itu berkualitas? tentu saja jawabannya adalah pembaca puisi itu sendiri dan bagaimana seorang penyair benar-benar konsisten dengan apa yang ditulisnya. Kualitas pribadi penyair juga semestinya berperan serta dalam menjadikan tulisannya berkualitas. Maksud kualitas pribadi disini tiada lain ialah konsisten tadi. Misalnya, bila seorang penyair menulis puisi yang mengajak orang-orang untuk sholat, maka semestinya dia adalah orang yang memang rajin sholat, atau bila mempuisikan tentang sedekah maka penyair semestinya adalah memang orang yang rajin bersedekah, begitulah kira-kira gambarannya. boleh - boleh saja, seorang penyair menelurkan banyak karya puisi dalam sekian jam, namun semestinya pula dia dituntut untuk konsisten dengan apa yang disampaikannya. Jadi, apalah gunanya produktif menulis bila kemudian apa yang kita tulis itu tidak pula kita lakukan serta kita khianati sendiri? Bukankah memang dalam agama Islam disebutkan bahwa bila kita tak sesuai dengan kata dan perbuatan maka kita sudah digolongkan kepada orang-orang munafik?
Dakwah bil Qalam
Intinya adalah menulis untuk menyampaikan kebenaran walaupun pahit. Atau berlomba-lomba menulis dalam kebaikan, sesuai dengan Motto serta visi misi FAM Indonesia. Sebagai anggota FAM Indonesia, kita berkewajiban mengejawantahkan amanat dari FAM Indonesia itu, bahwa kita bukan hanya sekedar berlomba-lomba menulis saja, tapi juga berlomba-lomba menulis untuk menyampaikan kebenaran Islam ke seantero dunia. Setidaknya kita mendakwahi diri sendiri dan keluarga kita lewat karya tulis kita. Bukankah sebuah tulisan yang berkualitas itu adalah tulisan yang memang bisa dipertanggungjawabkan, memiliki latar belakang ataupun ide yang kita peroleh dalam kehidupan dimana sesungguhnya kita bisa saja mendapatkan aneka pembelajaran disitu?
Banyak penyair ataupun penulis menjadi pongah dengan hasil cipta karya karsanya. Yang semestinya justeru seorang penyair ataupun penulis harusnya menjadi lebih tawadhu' dan makin menunduk ibarat bulir padi karena dia dianugerahi Allah dengan intuisi, imajinasi dan daya pikir yang luas untuk merekam kehidupan, dimana ayat-ayat-Nya bertebaran untuk menjadi pelajaran dan ibroh. Ketika sebagian orang tak memiliki rasa yang sensitif, sebagaimana rasanya seorang penyair ataupun penulis dalam menangkap hal itu.
Epilog
Diskusi saya dengan Pak Faisal Zaini Dahlan membuka pemahaman baru bagi saya untuk lebih meningkatkan kualitas diri dalam menulis. nasehat beliau sama dengan amanat yang disajikan oleh FAM Indonesia. Menulis, menulis, dan menulis itu perlu untuk mengasah kemampuan diri, dan yang paling penting adalah menghasilkan tulisan yang berkualitas bagi diri sendiri dan orang lain. Bukan hanya mengejar kuantitas kosong dan tak bernilai pahala.
FAMili, mari berdakwah bil qalam.
Pinggiran kota, menjelang tengah malam
2013
FAM906U-PADANG
#nasihat dan motivasi dari Bang Denni Meilizon
0 Response to "MENULIS SAMBIL BERDAKWAH"
Post a Comment
Pijakilah Setiap yang Kau Baca dengan Komentar Manismu.