ANTARA JOJO DAN IBAS





Antara Jojo dan Ibas



Satu tindakan, dua jenis perlakuan. Satu dihukum, satu menghukum. Itulah parodi hukum kita.



Oh nasib, ya nasib, nasibku memang bukan nasibmu, begitulah sound-track hidup Jojo, sebut saja begitu, sebagaimana dinyanyikan Iwan Fals. Baginya, penjara bukan aib. Melainkan rekam jejak yang dibutuhkan untuk bertahta di sebuah lorong. Tahta kecil yang membuatnya merasa berhak mengutip siapapun yang ingin dikutipnya. Asal bisa merokok, minum arak, dan makan nasi telok di warung Bicik Imah.



Itulah sekelumit kisah hidup Jojo. Pelaku money politics untuk kepentingan bosnya yang hingga kini tak kunjung menjenguknya. Panwaslu dan Polisi tampak sigap menjebloskan pemuda berkaos dekil itu ke penjara. Bahkan, televiisi dan harian local di Palembang gencar memberitakan kasusnya.



Nasib apes Joko bermula saat nongkrong di sebuah lorong. Musim pemilu begini, ada-ada saja lokak (kesempatan memperoleh) duit. Umumnya dari caleg-caleg yang datang ke kampungnya. Apalagi, deretan bedeng-bedeng reyot sekitar lorong, acap kali dianggap seksis oleh sejumlah caleg. Setiap hari ada-ada saja, entah calegnya langsung atau cukup timsesnya datang ke bedeng.



Benar juga, sore itu Jojo dapat lokak menyebarkan serangan lembaran Rp 10 ribuan ke desa Pulaukerto. Tak lupa pula, segepok kartu nama caleg DPRD Kota Palembang digenggamnya. Supaya mudah cara membaginya, setiap lembar Rp 10 ribuan disteples bersama kartu nama. Jojo pun bergegas ke Pulokerto.



Sial baginya. Baru separo membagi-bagi lembaran Rp 10 ribuan, gerak-gerik Jojo diintai warga yang tidak menyukai caleg lain menjamah kampungnya. Jojo pun ditangkap dan diarak ke kantor polisi. Sisa lembaran puluhan ribu yang disteples kartu nama dijadikan barang bukti. Jojo yang mabuk arak tak berkutik.



Hingga kini Jojo mendekam di balik terali besi. Tak ada nyali baginya menyerang balik penangkapnya, apa lagi balik melapor ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Sebab Jojo sadar betul siapa dirinya. Apa lagi jeruji besi pernah dilakoninya, saat kepergok warga mencuri pompa air.



Memang. Nasib Jojo ibarat bumi dan langit dengan nasib Edhie Baskoro, alias Ibas. Maklum, Ibas anak Presiden. Sedangkan Jojo hanya seorang anak pinggiran. Kaos oblong, anting dan celana lusuh melekat di tubuhnya yang gempal. Bau arak murah selalu menebar dari mulutnya. Membuatnya lebih percaya diri untuk bertahta di bedeng.



Ibas yang dilaporkan ke Panwaslu dengan kasus yang sama, perkaranya tidak segera diproses seperti Jojo. Bahkan, belakangan hari, bukan Ibas yang mesti berhadapan aparat penegak hukum. Melainkan justru pelapornya, Naziri, caleg dari Partai Gerindra yang mesti menghadapi delik aduan, pencemaran nama baik, dengan ancaman 6 tahun penjara. Tapi begitukah tatanan hukum kita, Raja dan keturunanya tidak pernah bersalah?



Dugaan money politics yang dilaporkan oleh Naziri dengan cepat ditanggapi Panwaslu Ponorogo. Mereka segera menggelar siding pleno. Secepat itu pula Panwaslu membuat keputusan Baskoro tidak bersalah. “Berdasarkan hasil sidang pleno Panwaslu Ponorogo 6 April lalu, tidak ada money politics yang dilakukan Edhie Baskoro,” beber Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Anton Bachrul Alam.



Anton pun menambahkan, berdasarkan keterangan saksi-saksi dan barang bukti yang ditemulan dalam penyelidikan maupun penyidikan Panwaslu, justru disimpulkan telah terjadi pencemaran nama baik terhadap Ibas. "Terjadi pencemaran nama baik, penistaan dengan tulisan, yang dapat diakses secara elektronik,” imbuh Anton terkesan membela habis anak bosnya.



Kini Naziri yang semula berstatus pelapor harus mendekam di jeruji besi. Kisahnya mirip pleidoi almarhum Nuku Soleman yang dipenjara dalam kasus selebaran Soeharto Dalang Segala Bencana (SDSB). “Kingkong Dilawan,” begitu judul pleidoinya, mengingatkan ucapan terkenal bintang komedi Almarhum Benyamin S.



Anton menuturkan, modus operandi terlapor (Naziri, caleg Gerindra) yakni melakukan atau turut membantu, memuat, berita bohong money politics dengan cara bagi-bagi uang dalam amplop yang dilampiri alat peraga dan ada fotonya Edhie Baskoro. Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng pun menyerahkan kasus (pencemaran nama baik) Ibas diproses secara hukum.



Pernyataan Anton pun diulangi dalam Jumpa Pers di Mapolda Jatim. Sekali lagi Anton membantah bila Ibas melakukan money politics. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. “Dari hasil cek ternyata justru terjadi sebaliknya, yakni ada pencemaran nama baik putra presiden yang juga berarti penistaan terhadap presiden,” ancam Anton, didampingi Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Irjen Hadi Atmoko.



Sesaat sebelum jumpa pers, Ibas tampak turun bergegas dari ruang pemeriksaan, tak jauh dari ruang Kepala Polda Jatim. Ibas yang mengenakan baju putih dan celana, dengan dikawal dua polisi tampak menghindar dari kejaran wartawan. Hanya Anton yang tampak aktif, tidak jelas posisinya, sebagai Kapolda atau penasehat hukum Ibas.



Kesimpulan polisi atas dugaan pencemaran nama baik, ungkap Anton, didasarkan atas hasil rapat pleno Panwas Ponorogo pada 6 April lalu, kemudian polisi juga memeriksa saksi dan barang bukti dalam kejadian itu. “Fakta hukum yang ditemukan justru terjadi pencemaran nama baik lewat tulisan elektronik yang melanggar Pasal 310 KUHP dan 311 KUHP juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2008 juncto Pasal 55 KUHP," katanya.



Sedikit berbeda dengan keterangan Kapolda, Ketua Panwaslu Jatim Sri Sugeng Pujiatmoko justru mengaku telah mendapatkan bukti praktek money politics oleh Ibas. Tapi sayang, saksi yang dipanggil belum juga datang sehingga penanganan kasus masih berjalan di tempat. “Untuk memproses pelanggaran, Panwas sendiri harus memenuhi prosedur utama, yaitu adanya barang bukti dan saksi," ujar Sri.



Tapi memang, Ibas bukan Jojo. Kini bukan Ibas yang berhadapan dengan hukum dalam kasus dugaan praktik money politics. Tapi justru pelapornya, Naziri beserta Bambang Krisminarso, keduanya pengurus Partai Gerindra Ponorogo, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik. Pasal yang acap ditimpakan kepada si lemah kepada penguasa yang law untouchable (tak tersentuh hukum).



Anehnya, sebelum ditetapkannya Naziri dan Bambang sebagai tersangka, Anton Bachrul Alam sempat menyebutkan lima orang yang dicurigai sebagai tersangka, meliputi Naziri dan Bambang, disertai tiga pimpinan media massa dari Okezone.com, JakartaGlobe.com, dan Harian Suara Bangsa di Ponorogo.



Kini, Naziri dan Bambang pun bernasib sama dengan Jojo. Menjalani hidup sebagai pesakitan dalam dua kasus berbeda. Persamaannya, ketiga-tiganya bukan Raja dan turunannya yang bisa berbuat semena-mena. Oh ya, ya nasib… Nasibmu memang bukan nasibku.



Marlin Dinamikanto