11/9
Ingatkah kau, sahabatku Man-sik Lee,
suatu pagi yang seolah meruyak dari mimpi
Seperti angin musim gugur yang trengginas
kita menghambur menembus kabus kebas
yang menyelubungi sirkuit taman kota
sepanjang tepian Sungai Iowa
Sambil menyanyikan lagu sedih
dari masa kanak-kanak Marek Zaleski
kubayangkan adegan kecil menyenangkan
yang, tanpa setahumu, telah beberapa kali berulang:
di dekat tikungan sirkuit sunyi itu
seorang gadis berbalut gaun tidur ungu
merekahkan senyum kelopak mawar liar
begitu melihatku muncul dari temaram fajar
Dengan riang ia membuka dan melompati jendela
menyerahkan dua butir buah pir padaku
ditambah pagutan bibir bau keju
Tapi pagi itu, ketika kabus belum udar
gadisku terkapar dengan tubuh terbakar
Di dalam kamar
di dalam televisi yang gemetar
kita saksikan panorama rawa purba: reruntuk
sepasang pencakar langit yang runtuh-renyuk
ratusan, mungkin ribuan Stephen “Bull” McCaffrey
melawan maut di antara kepul debu dan kobar api
Di tempat-tempat yang jauh dari amuk hantu itu
orang-orang tersedu dan termangu
meratapi kenyataan barbar
yang musykil dinalar:
ikon kedigdayaan negeri mereka
seketika menjelma neraka, lalu sirna
menyisakan gunung debu
dan rasa berkabung nan pilu
Kupejamkan mataku
samar-samar membayang bentuk di pelupuk
sepasang kaki Manhattan yang pantang berlutut
keangkuhan yang pernah kupandang dari laut
Di sanalah ia kemarin berdiri tegap
tapi pagi ini telah lenyap
Keberadaan yang mangkir
atau ketiadaan yang hadir?
Bagai keping-keping set di penggung
puing-puing itu memaksaku merenung:
apa yang sesungguhnya sedang berlangsung?
Mungkinkah itu hanya sandiwara, kepura-puraan
demi siasat besar yang dirahasiakan?
Man-sik Lee, kawan,
apakah aku seorang Brechtian?
Suasana begitu murung
amarah dan dendam menggelembung
dalam benak yang bingung
Sekolah dan kantor pemerintah
restoran dan pasar swalayan
tutup lebih dari sepekan
Hanya katedral dan gereja
24 jam dibuka bagi para pendoa
Pada hari keempat
setelah dua kaki Manhattan lumat
seorang seniman, pelopor punk-rock 70-an,
merintihkan sesal pada lembar majalah hiburan
Di abad yang lalu, aku terkungkung kepongahan.
Aku orang Amerika, aku tak pernah salah.
Kini aku terdesak, semua berubah.
Aku seorang artis Amerika,
aku merasa bersalah atas segalanya.
Saat itu seakan kusaksikan wajah iman
orang-orang berpaling kepada Tuhan
Aku berdoa, semoga pada hari-hari mendatang,
aku tak tergeragap dari mimpi dan berdiri
dengan darah orang-orang Afghan
menetes dari tanganku sendiri.
Kini, Man-sik Lee, sekian waktu kemudian,
tangan mereka mungkin tetap bersih dari noda
tapi, kita tahu: menyusul Afghanistan
Irak menjelma Kurusetra
Siapa menentang Amerika
tinggal tunggu gilirannya
dan bukan tak mungkin
sejumlah wilayah lain
telah bergelimang derita
dikoyak tangan kuasa
tak kasat mata
Beberapa hari sebelum teror itu, kawan,
gadis bermata safir biru pergi ke Manhattan
berbekal keyakinan: Aku akan jadi supermodel impian
mengungguli Miranda Kerr atau Chanel Iman
Dan pada pagi naas itu, ketika kabus belum udar,
sepanjang Fifth Avenue ia melengok bagai sulur mawar liar
lalu seseorang yang mirip Stephen “Bull” McCaffrey
menemukan tubuhnya di bawah puing kedai kopi
Sore ini, di antara serakan buah fig dan lemon
di sudut kebun cantik di Thornbury, Melbourne,
aku berbaring sendiri dan terkenang padamu
saat menemaniku berlari pada suatu pagi
yang seolah meruyak dari mimpi
Bayangan gadis merah muda
yang riang membuka dan melompati jendela
dua butir buah pir dan pagutan bibir, hanya ironi
di tengah kuasa gaib yang takabur dan keji
Tapi pagi itu, kau ingat Man-sik Lee,
aku menyanyikan lagu Marek Zaleski
dengan airmata menelaga di dalam hati
2002