Banyumanik, 9 April 2012 01.19
Albert, yang sedang duduk menikmati rokoknya di teras rumah tersentak ketika melihatku, yang masih mengenakan pakaian ‘dinas’ tiba-tiba muncul di depannya. Dia langsung melesakkan rokoknya di asbak dan berdiri persis di depanku. Dia meraba tubuhku yang cuma berbalut terusan di atas lulut dengan atasan terbuka. Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya gigil ketakutan dan gigitan bibir yang makin lama makin sakit.
“Abby..” bisikku lirih.
“Kamu kenapa, Es?” tanya Albert dengan nada cemas. Aku cuma menatap matanya yang memancarkan kekawatiran. “Masuklah!”
Albert merangkul bahuku dan menuntunku masuk. Dia mendudukanku di sofa dan membaringkan tubuhku. Setelah memastikan keadaan luar aman, dia mengunci pintu. Dia melangkah terburu ke kamarnya, sebentar kemudian selimut tebal sudah di tangannya. Setelah menyelimuti tubuhku, dia berjalan ke dapur. Dalam hitungan
menit, dia keluar membawa segelas air jahe untukku.
Dia tak bertanya apa-apa lagi setelah memberiku minum. Dia hanya jongkok di depanku, menatap wajahku yang mungkin sudah seperti kepiting rebus. Dia mengelus rambutku yang berkeringat.
“Tenangkan dirimu, Es! Tenangkan. Ada aku di sini. Kamu aman.”
“Aku melihat dia terbunuh, By. Sangat mengerikan. Sangat…mengerikan!”
“Siapa?” tanya Abby tenang.
Mulutku seperti terkunci. Aku cuma bisa menangis. Memeluk tubuh Abby yang lebih hangat dari selimut tebal ini. Kali ini, biarkan aku benar-benar sembunyi di dada lelaki ini.
Lelaki yang dulu kutahu sebagai Anton. Si Psedonymuos itu. Tuhan mempertemukan kami kembali tanpa kesengajaan. Dan lelaki itu mampu meluruhkan seluruh imajinasi liarku tentang Bee. Tentang lelaki maya pada yang selalu membuat dadaku berdebar. Lelaki imajiner yang sempat membuatku sekarat! Dilanda cinta berat!
Hayalan mabuk tentang erostisitas hingga, akhirnya aku terjungkal dalam kepedihan tak bertepi.
Kini aku benar-benar bersembunyi di dada seorang lelaki. Lelaki yang beberapa bulan lalu kutemui. Cintaku bangkit. Menggelora. Kukira nikmat karena dia bahkan tak berusaha menghentikanku untuk melacur.
Kusebut dia pacar!
Dan aku mencintainya. Cuma itu…
****
Matahari sudah tinggi ketika aku terbangun dengan kepala pening. Abby masih meringkuk di sebelahku. Tangannya memeluk dadaku. Ketika hendak kulepas, dia semakin mempererat pelukannya dan memaksaku bersembunyi lagi di dadanya.
“Abby, kamu tak ke kantor hari ini?”
“Aku jaga malam.” jawabnya setengah mengigau.
“Aku lapar.”
“Mau makan?”
“Iya.”
“Aku cuma punya pisang!”
“Anjing!”
Dia terkekeh dan kembali merapatkan pelukannya. Samar-samar, telingaku menangkap pembaca script berita menyiarkan kasus pembunuhan di sebuah hotel. Aku terlonjak bangun dan mengamati uraian berita dari TV flat 32 inci itu. Keadaan ruang hotel itu masih sama dengan semalam. Masih berantakan. Bedanya, ada sabuk kuning yang melintang di depan pintu. Para wartawan sibuk berdesakan mencari sumber berita. Sementara reserse criminal dari Polda Jateng menandai barang bukti. Bagian forensic sibuk memunguti benda-benda yang dimungkinkan meningggalkan sidik jari pelaku.
Dugaan: perampokan.
“Stupid!” bisikku geram. Abby yang berdiri di sebelahku menoleh.
“Sebaiknya kamu cepat bersembunyi, Es!”
“Ke mana? Lubang hidungmu?”
“Aku akan carikan tempat. Ini gila. Tapi tak akan ada orang yang menyangka kamu menggunakan jalan tolol itu.”
“Apa?”
Abyy tersenyum. Dan membisikiku sesuatu yang membuatku berteriak kencang.
“Sinting kamu, By…”
*****
Java Mall, 10 April 2012 14.24
Ah, ya! Panggil saja aku Ester. Tak perlu nama panjang karena… ah, tak penting! Aku memang bukan siapa-siapa. Aku perempuan yang suka shopping, menghambur-hamburkan uang, tiap malam kelayaban di kelab malam, pulang dalam keadaan mabuk lalu tidur dengan lelaki yang mau memberiku uang untuk pergi ke bersenang-senang keesokan harinya! Aku perempuan yang mau dipanggil ke hotel berbintang. Melayani para pejabat yang sedang dinas ke luar kota. Hidupku mewah. Tak perlu susah payah berpikir mencari uang karena, tinggal pencet nomor telpon, beberapa jam kemudian uang sudah mengalir ke rekening bank-ku.
Tepat dua bulan lagi, usiaku genap dua puluh Sembilan. Aku memutuskan untuk merayakan ulang tahunku sendiri. Jauh dari hingar bingar teman-teman yang menimbuni tubuhku dengan bingkisan kado atau siraman bir dan wiski yang membuat rambutku lengket dan bau. Jauh dari segala macam kecaman dan ancaman yang membuat hidupku tak tenang!
Tak perlu juga membahas aku makhluk berpendidikan apa tidak karena sekarang, jenjang pendidikan tak berpengaruh pada moral seseorang. Aku memang sempat mengambil FISIP di salah satu universitas ternama di Semarang. Hanya dua semester. Aku suka dunia politik. Tapi kupikir, itu tak lagi berguna karena aku bisa secara langsung belajar dari mereka: klien-klienku. Para bisnismen dan politisi. Yang sudah mulai aku gauli sejak awal masuk kuliah sampai kini. Menyaring pembicaraan mereka, aku jadi tahu teori-teori yang disampaikan di bangku kuliah tak lagi berguna. Karena politik cuma dijadikan sandaran untuk mempertahankan diri. Sedikit selfis! Atau mungkin sangat-amat-selfist-sekali?
Aku cuma sekedar mengingatkan bahwa di negara ini masih ada instansi pendidikan yang mencetak generasi plastisin: generasi yang mudah dibentuk dan hidup berdasarkan system yang ada. Hingga generasi yang punya idealisme tinggi benar-benar menjadi kaum marginal!
Lupakan tentang itu!!
Kini kembali pada hidupku. Keluargaku. Sejak ibu meninggal sepuluh tahun silam, aku menjadi semakin brutal. Aku tak lagi memfungsikan diri sebagai perempuan yang baik. Hidupku sudah terarah pada satu tujuan: uang dan senang-senang. Kau bisa menyebutku sebagai pelacur. Tapi aku melakukan hubungan itu cuma untuk kesenangan semata. Kau katakan itu forbidden! Tapi bukankah banyak perempuan lain yang melakukan itu?
Aku mencintai ibuku. Dia sangat mengerti diriku karena, dia sendiri pernah melakukan hal sama: menjadi kortesan. Hingga bertemu lelaki baik seperti ayah. Menikah. Lalu memiliki anak perempuan yang dikutuk oleh satu peribahasa: buah jatuh tak jauh dari pohonnya! Aku menyesal kematiannya yang sangat kejam.
Ayah? Apa pedulinya? Dia lebih suka menunggui kantornya daripada pulang ke rumah. Dia bilang, rumahku seperti kandang babi! Kami selalu terbahak kalau tiba-tiba ayah menemukan kondom tergeletak di atas sofa. Dia hanya tanya: observasimu sudah sedalam apa? Aku selalu menyeringai, menjawab dengan malu bahwa aku telah sampai ke titik klimaks. Tinggal melakukan sedimentasi sebelum aku benar-benar tobat menjadi perempuan baik-baik.
Aku sering mengutuk diri: aku wanita paling bejat yang pernah ibu lahirkan ke dunia. Kata Berly, aku perempuan jalang. Tak masalah. Aku juga menyadari manusia memiliki pikiran untuk menjadi jalang bukan? Jalang membuat kita lepas bebas tak terikat norma. Jalang membuat kita bebas memaki siapa saja dengan kata sekeji mungkin untuk menetralkan amarah. Jalang itu… bisa tidur dengan siapa saja. Dan itu sensasi tertinggi dari sebuah sensualitas hidup, buat wanita jalang itu sendiri tentunya!
Tapi tahukah kau, aku mengalami stagnasi. Hidupku yang begitu glamor itu tiba-tiba seperti berada di titik nol! Aku takut keluar malam. Aku takut menerima panggilan. Aku takut. Aku benar-benar takut. Fobia apa saja.
Aku mereguk sisa jus apel di foodcourt basement. Kekroditan Java Mall membuatku semakin takut. Siapa tahu anak buah pembunuh itu mengintaiku? Atau dia sendiri yang mengikuti langkahku? Lalu ditempat yang sepi, menyergapku, membunuhku lalu melempar mayatku ke selokan air. Sementara menaiki escalator menuju lantai satu, aku memejamkan mata. Banyak sekali kriminalitas yang terjadi? Kasus-kasus pembunuhan dengan berbagai motif bersliweran. Memenuhi pikiranku. Langkahku semakin panjang. Ingin segera pulang.
****