Studio Foto Cortexs, 13 April 2012 09.54
“Ester, apa kabarmu? Apakah kamu baik-bak saja?”
Aku menyeringai di depan pintu studio. Pertanyaan Berly sempat membuatku bergidik. Setelah men-save editan fotonya, dia bangkit dan seperti biasa, mengacak-acak rambutku dengan semangat empat lima. Tapi aku mendorongnya hingga terjerembab ke lantai.
“Stupid!” makiku. Dia terkekeh. Aku mengambil alih posisinya. Mengotak-atik program ACDSee. Aku membuka file yang aku titipkan di komputernya, lalu…. menekan tombol delete.
“Hai, yang itu belum aku edit. Ah…kenapa kamu musti hapus semuanya? Fotomu cantik, Ester. Bahkan kalau mau, kamu bisa jadi model kelas dunia. Ah, bodohnya kamu.” Dia mencak-mencak sendiri sambil mencoba memunguti foto telanjangku di recycle bin. Tapi terlambat. Aku sudah menghapusnya lebih cepat.
“What happen?” tanyanya kemudian dengan muka sebal. “Kamu kelihatan aneh belakangan ini. Awalnya kamu senang karena ayahmu dipenjara. Tak ada lagi orang yang dengan sok tahu mencampuri urusanmu. Trus kamu bilang sayang dengan ayahmu, kasihan dengan keadaannya yang kurus kering juga tambah keriput di dalam bui. Sekarang, kamu hapus foto-foto favoritmu. Kemarin saat aku telepon, kamu bilang sedang terancam bahaya. Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Ester?”
Aku mengerling. Memang seharusnya aku tak memberi tahunya tentang kasus yang beredar di media masa dan menjadi headline beberapa hari belakangan ini. Lebih baik aku tak cerita kalau teman perempuannya ini sedang berhadapan dengan orang yang benar-benar tak tahu diri. Yang pandai cuci tangan dengan kekuasaan dan uang. Bahwa, teman perempuannya ini terancam! Seandainya dia tahu, mungkin aku tak akan pernah diijinkan kelayaban seperti ini.
“Aku pengen berhenti melacur.” kataku menarik satu batang rokok dan menyulutnya.
Berly memandangku dengan tatapan tak mengerti. “Lalu? Jadi biarawati?”
Aku menggeleng. “Jadi TKW!” kataku tegas. Berly membelalakkan mata.
****
Terrace Garden, 13 April 2012 15.25
Sejak tadi, aku cuma duduk di bangku taman. Taman yang sunyi. Kesunyian yang lambat laun aku benci. Tapi aku mesti menanti. Lelaki yang janji menemuiku tepat pukul 3 sore mulai terserang rubber syndrome. Berkali-kali aku toleh kanan kiri seperti orang hilang. Berjalan keliling taman, lalu kembali duduk seperti orang tolol. Softdrinkku habis. Air mineralku juga tandas. Sedari tadi, yang aku lihat cuma air mancur. Dan aku tak mau ambil risiko perut sakit karena tergoda meminumnya!
Tepat ketika aku memutuskan untuk pulang, dia meneriakan namaku dari pintu masuk. Dia berlari kecil ke arahku. Dia masih dalam balutan seragam dinasnya. AKP Albertinus. Si Abby. Anak buah Pak Hasan.
“Sori aku telat.”
“Kamu ketularan atasanmu. Rubber time!”
“Kamu sudah ketemu Pak Hasan?”
“Ya!”
“Dan hasilnya?”
“Positif. Aku hamil.”
“Ester, aku tak sedang bercanda!”
“Aku juga. Tapi kenapa orang-orang yang benar-benar tahu posisiku seperti menganggap enteng kasus ini? Mereka semua tahu. Wartawan masih saja menempatkan kasus itu sebagai headline. Dan aku masih saja terancam. Kau tahu, seseorang mengirimiku surat kaleng kemarin malam. Ini bacalah!”
Aku menyodorkan kertas itu pada Albert. Lelaki berusia 35 tahun itu membacanya dengan seksama. Lalu membuang nafas.
“Es, sebaiknya kamu memang harus pergi. Jalankan saja rencana kita kemarin. Tak usah menunggu hari minggu. Berangkatlah besok pagi dengan bus biasa. Bawa perlengkapan secukupnya. Nanti kopermu aku titipkan pada temanku yang tugas di Polsek sana.”
“Tapi?” mataku sudah membasah sejak tadi.
“Kamu ingin nyawamu melayang? Orang-orang itu sewaktu-waktu bisa menyergapmu Ester. Kalau kamu belum juga pergi sebelum penyelidikan ini selesai, aku tak jamin kamu masih bisa menghirup udara pagi! Kau tahu, segalanya sudah menemukan titik terang. Dan kamu satu-satunya yang tahu kejadian ini sedetail mungkin. Kalau peradilan bisa dibeli, bisa-bisa kamu yang dijebloskan ke penjara dengan berbagai rekayasa. Seperti ayahmu!”
“Aku…”
“Kamu tak perlu takut. Mereka tak mungkin mencarimu hingga ke PJTKI. Tempat itu cukup aman. Kalau interviewmu sukses, mungkin dua minggu kamu sudah berangkat ke Singapura. Aku akan mengawalmu dari sini!”
***
Terminal Banyumanik, 14 April 2012 04.50
Aku tak pamit pada siapapun. Teman dekat bahkan saudara tak ada yang aku beritahu. Pada Berlypun, aku sama sekali tak telpon. Hanya menelpon ayah. Dan itu sebentar karena batas waktu yang diberikan si supir begitu sempit! Ini benar-benar perjalanan menuju neraka. Dan aku menggunakan jalan tikus yang sempit, sumpek, bau, seperti bus ekonomi jurusan Semarang-Purwokerto yang aku naiki sekarang. Setannya lagi, aku harus menunggu penumpang satu demi satu naik. Ini benar-benar menyita waktu. Selama setengah jam menunggu, hanya ada satu penumpang di jok paling depan. Beberapa remaja dan bapak-bapak di bagian belakang. Posisiku di tengah. Aku memang suka di bagian tengah. Keseimbangan roda depan dan belakang membuat aku tak muntah.
Albert masih menunguiku di jok sebelah. Jaket kulit yang wangi merapat dikulitku yang cuma dibalut tank-top hitam. Aku tak merasa kedinginan meski pagi habis hujan ini menghembuskan udara yang super dingin.
“Benar-benar perjalanan ke neraka!” omelku.
Albert menoleh. Dia tersenyum hangat padaku dan merapatkan tubuhnya. Aku menangkap tanda itu. Ketika seseorang ingin berbagi hangat. Saling sentuh, raba, saling gigit. Namun jujur, kali ini, aku merasa dingin dalam hal asmara. Entah karena aku kerap kali dijamah pria atau pikiranku sedang fokus ke titik lain.
“Kamu tak dingin, Es?” tanya Albert kemudian. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Tidak.”
“Tapi kamu dingin. Kali ini.” sindirnya.
“Aku memutuskan diri menjadi es batu, Al.”
Albert tergelak. Dia memiringkan tubuhnya hingga benar-benar seperti menindihku. Dia mencari sesuatu di balik telingaku. Lalu…. Ah, sial! Dia membuat libidoku naik. Dan terpaksa, aku melayani ciuman yang mendarat berkali-kali di leherku. Tangannya yang nakal menyusuri bagian sensual tubuhku. Dan entahlah… dalam gelap bus yang hampir tak berpenumpang ini, kami seperti dua ekor merpati dalam birahi….
------
Setengah jam kemudian, mesin bus menyala. Lampu bus menyala. Dan kami sedikit geragaban mengakhiri percumbuan ini. Albert sempat mendaratkan ciuman di keningku. Lama sekali. Sepertinya aku ini benar-benar kekasihnya yang akan meninggalkan dunia untuk selamanya saja. Padahal aku cuma mau pergi ke Cilacap yang cuma memakan waktu enam jam perjalanan.
“Aku pastikan kamu aman di sana.” katanya sambil menyerahkan singgel tiket ke Purwokerto. “Sampai di terminal, ada seorang yang menjemputmu. Dia menunggu di depan pemberhentian bus ini.”
“Siapa dia?”
“Boeng. Teman baikku.”
“Dia tahu kalau aku…”
“Tidak. Dia hanya tahu kalau kamu mau daftar sebagai TKW. Kalau dia tanya, bilang kamu tetanggaku. Temanku di Polsek Ajibarang mengawalmu. Ini nomer hapenya.” kata Albert menyerahkan selembar kartu nama. “Kalau kamu ada apa-apa di PJTKI itu, kamu tinggal telpon dia.”
“Trimakasih, ya!”
“Jangan sebut itu lah. Tak penting. Yang penting kamu selamat!” Albert mengusap-usap rambutku. Dan senyum itu…. ah, aku melihat senyum yang asing di bibirnya. Apa ini cuma perasaanku saja?
****
bersambung...