LELAKI API
Di atas lempeng-lempeng batu pinggir plaza
yang menghampar di depan pilar-pilar katedral tua
di jantung Concepcion yang berselimut kabut
seolah menyembunyikan endapan rasa takut
orang-orang takzim meletakkan kembang
menalkin doa, untuk nama yang dikenang
Nama itu, Sebastian Acevedo
bapak yang mencintai dua anaknya
seorang buruh tambang batu bara
Ia orang biasa, warna negeri yang dikangkangi tirani
: ke mana pun mata mengarah tertusuk pagar berduri
senjata bagai hantu haus darah mengintai di malam hari
Tak seorang pun tahu badai duka dalam diri Acevedo
ketika orang-orang yang ia cintai direnggut para carabinero
Kedua anaknya (jejaka 22 tahun dan gadis 20 tahun) ditangkap
dituduh menyimpan senjata gelap
Pun tak ada yang tahu dua bocah malang itu disekap di mana
tapi semua orang tahu, siapa yang dianggap musuh negara
disiksa, tak jarang hingga binasa
Mereka bertanya: jika hukum hanya berlaku bagi si melarat
sonder menyentuh kesewenangan si kuat
apa yang bisa kami perbuat?
Acevedo punya jawaban untuk pertanyaan itu
tak peduli benar atau keliru
Ia menuntut anak-anaknya dibebaskan
dan setelah tuntutan tak dipenuhi
dan nasib putra-putrinya tak diketahui
Acevedo tak memohon lagi
Ia melontarkan peringatan:
Bila kalian tak hentikan
kesewenangan ini,
aku bunuh diri!
Siapa tergerak
siapa berani bertindak
ketika tirani menebar rasa takut
lebih tebal ketimbang kabut
membuat nyali lebih beku
dibanding salju?
Tak seorang pun
Orang-orang justru sangsi
akankah Acevedo menepati sumbarnya sendiri
Tak seorang pun mampu mengukur
seberapa dalam duka diam-diam telah menggali kubur
Acevedo bukan tak takut
tapi tekatnya tak sudi surut
ia tentukan saat dan tempat paling patut
Ia pilih plaza di depan katedral tua
tempat yang tak hanya dekat rumah Tuhan
tapi juga jantung kota pergolakan dan perjuangan
Di sana pernah bangkit pergerakan mahasiswa dan pemuda
di sana Salvador Allende mendapat dukungan paling menentukan
di sana digelar kebrutalan diktator Gabriel Gonzalez Videla
sebelum ia membangun kamp konsetrasi di Pisagua
di sana bahkan Augusto Pinochet yang angkuh
digembleng demi menguasai secara penuh
seni meneror dan membunuh
Di sana pula, akhirnya, Acevedo
mengguyurkan seember minyak tanah ke tubuhnya sendiri
lalu, dalam sekejap, menjelmalah ia manusia api
Orang-orang tersentak dan tertegun
seakan menerima pesan agung: bukan kekuasaan tiran
melainkan kehendak diri sendiri yang menentukan kebebasan
Mereka lalu memberi nama baru bagi tempat itu: Plaza Acevedo
Banyak yang ziarah ke sana, membawa warna-warni bunga
memaknai pesan yang berharga
Dan bunga-bunga itu, lebih dari sekadar tanda simpati
telah menjadi lambang: betapa si lelaki api
hanya percik yang mudah mati
namun nun di uluhati bumi
tersimpan bara abadi
1998
0 Response to "LELAKI API, puisi Sitok Srengenge"
Post a Comment
Pijakilah Setiap yang Kau Baca dengan Komentar Manismu.