Cerpen Tentang - Setitik Rasa Di Ujung Senja

SETITIK RASA DI UJUNG SENJA

Cerpen Karya Inaka Arum


Sosok yang tak sengaja kujumpai di stasiun itu, membuat aliran darah tubuh seperti terhenti seketika. Oh bukan, lebih tepatnya hampir membeku mengiringi jemari dan sekujur tubuh yang terbalut rasa dingin. Lumrahnya, aku bisa saja memaki bahkan meluapkan segala sebak di dada karena ulahnya. Tapi entah mengapa itu tak terjadi. Bahkan aku juga menjabat tangannya ketika dia menjulurkan tangan ke arahku.
.
“Apa kabar, Ran?” tanyanya khas, menyunggingkan sebuah senyuman kemudian menunduk.
“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja.” Jawabku datar. Manusia di hadapanku ini merasa seperti makhluk tanpa dosa.
Kembali dia menatapku sekejap, bergeser kemudian pada Garneta, seorang gadis yang kugandeng tangannya. Lelaki itu berjongkok hingga wajahnya sejajar dengan Garneta, jemarinya lembut mengelus pipi tembem itu, kemudian memberinya kecupan seraya berkata, “Siapa namamu? Kau gadis yang cantik!”
“Aku Garneta, Om!”
Garneta tersenyum kearahku seolah memberitahu kalau dirinya baru saja mendapat pujian, dan lelaki itu kembali berdiri, menatapku dengan tatapan yang khas persis saat pertama aku mengenalnya.
“Dia mirip sekali denganmu.“ Ucapnya kemudian.
.
"Tentu, dan aku lebih berharap kelak dia tak menemui seorang pecundang dalam hidupnya." Dalam kekalutan ku mencoba untuk menahan diri, memilih meninggalkan senyuman pahit kemudian berlalu pergi.
* * *
Menikmati semburat mentari di atas bangku kayu berpayung rindangnya pohon kersen, aku tersenyum sembari melihat sederet lili air berjajar mengelilingi kolam kecil di taman kota. Dengan gemericik air mancur yang mesra menyanding ikan-ikan merah di dalamnya. Kejadian di stasiun, seolah membedah kenangan beberapa tahun silam, ketika aku harus membayar kepergian Elvan dengan air mata.
.
Tepat di sini, di taman kota. Limabelas tahun yang lalu dia berucap salam perpisahan. Suatu kenyataan yang benar menyayat hati. Ah, entahlah. Keputusannya memilih menyerah dan menyudahi hubungan yang selama ini terbina manis, telah memusnahkan pula perasaan cinta dalam hatiku. Kekagumanku pupus, berganti rasa benci yang membuncah, sesak tanpa ada lagi sekat kasih di dalam dada.
.
Air matakku mengalir, memburu marah dan kecewa. Mengutuk kebodohanku yang selama ini justru mencintai dan mempertahankan makhluk pecundang berparas menawan yang ku idam-idamkan menjadi imam dan nahkoda dalam kapalku. Oh sunggguh, betapa nelangsanya, kenyataan telah membuat diriku harus menjilat ludahku sendiri. Jika beberapa jam sebelum bertemu dengan Elvan di taman ini, aku telah menegaskan pada kedua orang tuaku bahwa Elvan adalah yang terbaik dan perjodohan yang mereka rancang untukku dengan Frans adalah hal yang sia-sia. Apalagi mereka berdua adalah teman karib sejak kecil. Kini aku harus menerima kenyataan bahwa Elvan tak sedikitpun patut untuk ku banggakan. Dan pilihan untuk menikah dengan Frans adalah hal yang tak mungkin lagi ku elak.
.
Kuterima pilihan mereka. Aku menikah dengan Frans, lelaki itu cukup sabar menyemi benih cinta dalam hatiku, menghapus bayang-bayang Elvan. Sahabat karibnya yang sudah melekat erat di hatiku walau dalam keheningan tanpa ia tahu. Kesabarannya yang perlahan membuat aku yakin akan lembaran putih yang ia tawarkan, menggores kisah kehidupan rumah tangga yang berwarna di atasnya.
.
Dua tahun hidup dengannya, akhirnya aku mengandung buah cinta kami. Masih teringat, malam itu dia berniat menjemputku dari klinik tempat memeriksakan kehamilan. Namun dalam perjalanan, ia mengalami sebuah kecelakaan. Taksi yang ia tumpangi bertabrakan dengan sebuah truk, dan Frans meregang nyawa karenanya.
.
Kembali aku mengutuk cintaku yang ingkar. Rasa ini benar-benar merajah hati, setiap nafas adalah kekecewaan yang tak bertepi. Haruskah diri menghujat Tuhan, atas apa yang menimpa? Oh sungguh aku tiada berdaya untuk itu. Kerapuhan hati kurakit kembali demi makhluk yang tumbuh di rahim ini. Bagaimanapun senyumnya kelak adalah tugas yang masih harus ku emban.
* * *
Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Satu pesan dari ibu yang mengabarkan bahwa dirinya tak jadi menemuiku di taman. Beliau justru memintaku untuk datang ke rumah. Buru-buru ku panggil Garneta yang sedang asyik menaiki becak kecil sewaan di taman kota. Mengajaknya untuk segera mencari taksi yang akan membawa kami ke rumah ibu.
.
Ku lihat dari spion dalam taksi, gadis kecilku sesekali mengerlingkan pandangan ke arahku. Gelagatnya seperti ingin melayangkan tanya dalam keraguan.
.
“Ada yang ingin kau katakan, Sayang?” tanyaku seraya menoleh ke belakang. Gadisku tersenyum malu, ia menggeleng.
“Mama tak percaya.” Kembali ku membetulkan posisi duduk menatap ke depan.
.
“Emm... Mah, Om tadi itu... Siapanya Mama? Mama kenal!” Garneta terlihat sedikit ragu.
Aku menarik nafas dalam-dalam, tersenyum ke arah bidadari kecilku itu.
“Dia teman almarhum Papa, Sayang! Namanya Om Elvan.”
Garneta mengangguk, entah apa yang ada di benaknya. Ia justru mengalihkan pandangan pada layar smartphone milikku yang sedari tadi tergeletak di pangkuannya.
* * *
Pukul lima aku memasuki halaman rumah ibu, tempat dimana dulu sering menghabiskan waktu untuk sekadar bersantai. Elvan yang merupakan temanku dari kecil juga sering datang bersama Frans. Entah apa yang mendasari, yang jelas Elvan lebih percaya diri jika bertandang ke rumah bersama Frans. Sementara ia mengobrol denganku, Frans justru lebih sering ngobrol bersama ayah. Lelaki itu bahkan tak jarang menemani ayah bermain catur. Hingga dalam obrolan mereka, diketahui jika Frans ternyata adalah anak kandung dari teman lama ayah semasa kuliah dulu.
.
Aku melangkahkan kaki menuju teras, sementara Garneta berjalan di belakangku perlahan dengan pandangan masih terpusat di layar smartphone. Tak biasanya gadis kecilku begitu tertarik dengan hanphone. Apalagi aku tak memasang aplikasi permainan apapun di sana. Kalaupun bermain game, ia biasa memainkannya di laptop. Atau mungkin aku yang kurang memahami tingkat kejenuhan anak berumur tigabelas tahun yang sejak beberapa jam lalu duduk di kursi kereta menikmati perjalanan dari Surabaya ke Yogyakarta. Entahlah...
.
“Garneta... !” panggilku, seraya menyeret koper berukuran sedang untuk masuk ke dalam.
“Iya, Ma.. !” serunya setengah berlari. Ia kemudian menghambur di pelukan ibu yang kala itu duduk merajut di teras belakang.
.
Betapa manisnya menyaksikan kerinduan antara cucu dan nenek. Andai saja ayah masih hidup, beliau pasti menyambut lebih hangat dari ini. Betapa beliau pasti rela membelikan lumpia kesukaanku jauh di toko oleh-oleh dekat tempatnya mengajar dulu.
* * *
Menikmati makan malam. Ibu memasak lebih banyak menu, ada seorang tamu yang sengaja di undang beliau. Aku hanya mengangguk pelan, bukan hal aneh, semenjak ayah meninggal ibu sering mengundang saudara dekat untuk sekedar menemaninya makan malam. Memudar sepi, karena aku sendiri tinggal di Surabaya meneruskan usaha yang ditinggalkan oleh Frans.
.
Langkah Garneta begitu cepat setelah beberapa saat yang lalu terdengar suara bel berbunyi. Aku tersenyum menyaksikan tingkahnya. Perkiraanku yang mengira dia akan bosan selama di Yogyakarta ternyata salah. Dia justru berbelanja beberapa pernak pernik di sepanjang jalan Malioboro, memasukkannya ke dalam paper bag kecil, dan berencana akan menjualnya lagi kepada teman-temannya di sekolah. Sungguh bakat dagang Frans telah dilungsur oleh Garneta.
.
“Mama.. ! Lihatlah siapa yang datang!”seru Garneta dari balik pintu.
“Lihatlah, Ran! Mungkin Garneta tak mengenal Tante Wi. Maklum, terakhir mereka bertemu Garneta baru berusia dua tahun.” Kata ibu menyuruhku ke depan.
.
Dengan gontai aku membawa tubuh berjalan ke depan. Menelan ludah yang tiba-tiba terasa sulit di kerongkongan, setelah melihat siapa yang dimaksud Garneta.
.
“Ma, aku yang meminta Om Elvan datang. Bukankah Om Elvan teman Papa, aku ingin mendengar cerita tentang papa dari Om Elvan.” Kata Garneta sambil memegang tangan Elvan.
“Silahkan masuk!” begitu berat aku mengucapkan kalimat itu, sorot matanya masih sanggup membawaku menelisik kenangan. Seberapapun aku membenci, nyatanya kenangan masih ada bersama sejuta rasa yang tak mampu ku jamah.
* * *
“Dia yang menghubungiku tadi siang, memintaku untuk kemari.” Kalimat itu meluncur dari mulut Elvan yang tiba-tiba duduk di sampingku di bangku taman halaman rumah.
.
Aku hanya melirik sekejap, membuang nafas, kemudian kembali menatap smartphone yang dari tadi ku genggam.
.
“Lihatlah.. !” Alvan menunjukkan pesan yang memang di kirim dari nomor milikku. Ah sekarang aku tahu kenapa selama di dalam taksi Garneta lebih tertarik mengotak atik smartphone milikku.
.
“Aku minta maaf untuk itu, ku harap dia tidak mengganggu waktumu. Dan ku pastikan ini yang terakhir.” Kataku sambil berdiri dan beranjak pergi. Secepat mungkin ku langkahkan kaki berniat masuk ke dalam.
.
“Tunggu, Ran!” Tangan Elvan menggapai pergelangan tanganku. Aku berhenti sejenak tanpa menatapanya. “Aku minta maaf.” Sambungnya lagi.
.
“Maaf untuk apa lagi, kau sudah banyak mengutarakan kata maaf kepadaku. Sejuta maafmu tak akan sanggup merubah penilaianku padamu, sejak malam itu, bagiku kau hanya seorang pecundang.” Aku setengah berteriak kepadanya.
.
“Terserah kau akan anggap aku seperti apa, yang jelas aku hanya tak ingin kau melukai kedua orang tuamu.”
.
“Apa maksudmu?”
.
“Mengenai perjodohanmu dengan Frans, aku sudah lebih dulu mengetahuinya. Ayahmu datang kepadaku dan meminta pendapat tentang itu, dan Frans, ku lihat dia begitu bahagia dengan rencana itu. Aku tak tega melukai perasaannya dengan mengatakan tentang hubungan kita.”
.
“Dan kau lebih tega melukai perasaanku, sehebat itukah kamu!”
.
“Ran, orang tua. Sejak kecil aku tak punya orang tua. Selayaknya anak, aku ingin sekali berbakti untuk mereka jika mereka masih ada. Dan kau, jika kau menolak Frans saat itu, kau pasti akan menyakiti hati orang tuamu. Aku tidak inginkan itu, Ran.”
.
“Lalu kenapa sekarang kau katakan ini padaku?”
.
“Garneta. Garneta begitu antusias mendengarkan semua ceritaku mengenai papanya. Dan aku tak ingin kau selamanya membenciku. Frans adalah teman terbaikku, dan Garneta menuruni semua sifat yang Frans miliki. Aku bangga padanya, setidaknya dia benar-benar menjaga satu-satunya orang yang ku cintai. Membuatnya menjadi orang yang tegar dengan seorang putri yang begitu cerdas dan penurut.”
.
Aku menghela nafas mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Elvan. Dibalik penilaian yang selama ini kulayangkan kepadanya, ternyata tergurat juga kepedihan yang sebenarnya ia pendam.
.
“Ran, sungguh, aku tidak meminta kau untuk kembali lagi menerimaku. Aku sadar telah mengecewakanmu. Tapi aku mohon, hilangkan kebencian yang sudah mengakar itu. Aku tak ingin Garneta mengenalku sebagai orang yang kau benci.”
.
"Lalu bagaimana dengan keluargamu saat ini?"
.
"Kau pikir dengan merelakanmu hidup bersama orang lain, masih menyisakan waktu untuku memikirkan membangun keluarga. Aku bukan orang yang punya sumber kekuatan untuk berbuat tega berkali-kali."
.
Aku mengangguk, perlahan mencerna kalimat yang terlontar dari bibirnya. Mencoba menelaah dari sudut pandang yang ia yakini. Bahwa mungkin sulit juga memutuskan jika aku ada dalam posisinya saat itu.
.
Aku tersenyum melihat Elvan yang seksama memandang ke arahku seraya mengulurkan tangan. Aku menggapai uluran tangan itu, menjabatnya dengan mantap. Baru ku sadari garis wajahnya kini mulai nampak, limabelas tahun telah mengubah banyak hal. Tentang kesempatan, tentang hati juga cinta yang kini mulai menyemi kembali setitik rasa walau di ujung senja.

selesai


foto by naraayuki.wordpress.com


0 Response to "Cerpen Tentang - Setitik Rasa Di Ujung Senja"

Post a Comment

Pijakilah Setiap yang Kau Baca dengan Komentar Manismu.