Cerita Gunawan Budi Susanto
Ibu meninggal dunia, 15 Maret 2017 pukul 20.00. Tentu saja
kami -- enam anak, belasan cucu, dan cicit -- sedih. Namun, sesuai pesan Ibu
semasa hidup, sesedih apa pun kami tak boleh menangis saat Ibu meninggal. Juga
saat penguburan. Jadi, jangan bilang kami tak tahu diri jika saat pelayat
berdatangan tak seorang pun di antara kami meneteskan air mata. Memang air mata
kami berlinangan. Namun cuma itu. Lalu kami pun bersegera menemui para pelayat,
tanpa raut kepedihan berlebihan.
Ibu meninggal saat berusia 80 tahun. Kami bersyukur, Ibu
meninggal tanpa kesakitan, tanpa jejak luka apa pun di tubuh. Ya, tubuh Ibu
sungguh bersih dari segala apa yang bisa disebut jejak penyakit.
Kami – aku dan kedua adik lelakiku –memangku jenazah Ibu
saat dimandikan. Saat itulah kami menyadari betapa bersih tubuh Ibu. Bahwa
kulit ibu mengeriput, tentu saja. Itu toh pengaruh usia.
Namun, sungguh,
jenazah Ibu menguarkan bau harum. Bukan harum bau kembang, bukan harum aroma
minyak wangi, bukan pula harum kepulan asap kemenyan atau kapur barus. Kami tak
pernah memakai kemenyan dalam segala urusan, kecuali dulu saat Mboh Nah dan
Mbok Ni makan daun sirih dan remah kemenyan saat menginang.
Ya, jenazah Ibu menguarkan bau harum yang menyenangkan.
Namun seminggu kemudian, ketika kami berkumpul untuk
mengadakan selamatan, kakak sulungku bercerita. “Ada saja gunjingan orang
tentang Ibu. Ada yang bilang, bau mayat Ibu begitu busuk.
Sebegitu busuk,
sehingga ada pelayat muntah-muntah tak keruan. Ada pula yang bilang, tubuh Ibu
berlubang. Dan, dari dalam lubang itu berloncatan belatung. Orang-orang ribut
dan berlarian katanya,” ujar kakakku dengan raut muka masam seusai pembacaan
tahlil.
Kami terdiam dan saling pandang. Adik perempuanku terisak.
“Tega amat orang bilang begitu! Kan semua bisa melihat, semua bisa menyaksikan,
jenazah Ibu utuh dan tak berbau,” sahut dia.
“Sudahlah, tak perlu kita masukkan dalam hati. Di mana pun
selalu ada orang usil. Selalu ada orang tak senang,” timpalku. “Kita semua toh
tahu, jenazah Ibu justru menguarkan bau harum menyenangkan.”
“Barangkali Ibu punya utang pada orang itu dan belum
terbayar?” tanya adik lelakiku.
“Tidak. Ibu tak pernah punya utang pada siapa pun. Bahkan,
meski sedikit, Ibu punya piutang.
Namun itu tak perlu kita tagih. Biar sajalah
jadi sedekah Ibu,” sahut kakak sulungku.
Kami terdiam. Adik perempuanku masih mengisak. “Orang-orang
yang bilang macam itu siapa, Mbak?” tanya dia.
“Tak perlulah kita tahu siapa mereka. Biar saja mereka omong
apa, toh kita paham benar apa yang terjadi pada Ibu,” sahut adik lelakiku.
“Ya. Sudah, tak perlu kita pedulikan,” timpal kakak
sulungku. “Sekarang kita lihat apa saja barang peninggalan Ibu dan apa yang
harus kita lakukan.”
Sigap beberapa keponakanku mengusung beberapa tas dari dalam
kamar rumah kakak sulungku, lalu meletakkan di tikar tempat kami duduk
melingkar. Kakak dan adik perempuanku membuka tas itu satu demi satu. Kain,
kebaya, selendang, kerudung, beberapa buku dan lembaran-lembaran kertas
bertulisan tangan. Boneka-boneka kecil. Taplak meja dan seprai dari perca
buatan Ibu.
“Silakan kalian pilih, mana hendak kalian bawa sebagai
kenang-kenangan,” ujar kakak sulungku.
Sebelum mereka menyahut, aku berucap, “Jika boleh, buku-buku
dan kertas-kertas itu biarlah kubawa.”
Tak ada yang keberatan. Aku segera mengemasi beberapa buku
dan lembaran kertas-kertas bertulisan tangan Ibu. Secara acak aku mengambil
selembar kertas dan membaca.
“Pak Joko Widodo. Ini ibu-ibu rakyat jelata susah karena
harga beras membubung tinggi. Nanti lama-lama orang-orang dan anak-anak bisa
H.O. gimana, Pak?”
Kami tertawa. Salah seorang keponakan menceletuk. “Kirim
saja ke Presiden, Om.”
“Ya, nantilah. Gimana baiknya,” sahutku sambil memasukkan
buku-buku dan kertas-kertas itu ke dalam ransel. Lalu aku keluar, menyulut
sebatang rokok. Aku tak merasa perlu memperhatikan lagi apa yang dilakukan
saudaraku dan para keponakan dengan barang peninggalan Ibu.
Malam itu, aku ingin segera pulang. Aku ingin segera
memeriksa apa saja yang telah Ibu tulis di kertas-kertas itu. Namun aku serta
anak-istri kadung bilang, malam itu menginap di rumah kakak sulungku. Jadi, ya,
aku mesti bersabar sampai esok hari ketika sudah pulang ke rumah kami.
***
Tulisan Ibu di berbagai kertas, sembarang kertas,
kupilah-pilih. Ada lima macam tulisan. Pertama, berbagai resep makanan dan
obat-obatan herbal – yang entah Ibu contek dari mana. Kedua, teks lagu-lagu
nasional, tembang dolanan, dan tembang macapat. Ketiga, catatan uang masuk dan
keluar – dari siapa dan untuk keperluan apa. Keempat, tulisan berupa komentar
atau semata catatan kejadian, seperti yang kubacakan semalam. Kelima, cerita
nyata, seminyata, dan fiksi – berupa dongeng, mitos, legenda, dan lain-lain.
Ada pula syair dan pantun.
Adapun buku-buku yang tersimpan Ibu selama ini meliputi buku
tuntunan salat, kisah para nabi, dan tentang perempuan-perempuan tangguh dalam
sejarah Islam. Itu jenis buku-buku yang gampang ditemukan di pasaran. Tak ada
yang istimewa, kecuali terselip satu eksemplar buku kumpulan cerpenku, Nyanyian
Penggali Kubur edisi pertama tahun 2011.
Nah, berkas kelima kupilah lagi berdasar kategori
masing-masing. Kisah tentang Ibu dan tentang keluarga kami kusatukan dalam satu
map. Itulah cerita yang ditulis Ibu, baik berupa fiksi, semifiksi, maupun kisah
nyata.
Kau tahu, semasa muda Ibu menjadi guru sekolah dasar. Nah,
sebagaimana guru tempo doeloe, tulisan tangan Ibu indah, rapi, dan mudah
terbaca.
Aku membacai selembar demi selembar coretan Ibu. Tak ada
yang baru. Apa saja yang Ibu tulis sudah pernah dia ceritakan kepadaku, baik
saat masih kanak-kanak maupun ketika beranjak dewasa. Bahkan masih kalah
lengkap dari tulisan Ibu tentang kanak-kanak sampai dewasa dan menikah dengan
Bapak – masa pendudukan Jepang, masa agresi militer I dan II Belanda, masa
kemerdekaan, sampai pertengahan tahun 1950-an.
Tak ada tulisan yang menceritakan kurun 1960-an sampai
1970-an. Padahal, kau tahu, justru masa itulah pendulum kehidupan membuat
jungkir balik segala apa. Kebenaran menghilang, berganti fitnah dan umpat caci
kebencian.
Aku kembali menelisik lembaran kertas coretan tangan Ibu.
Ya, barangkali saja ada yang terlewat. Namun nihil. Sungguh, sampai meninggal
dunia, Ibu menutup rapat segala apa yang telah terjadi dan dia alami selama
kurun masa sepuluh tahun sejak 1960-an. Apa yang bisa aku harapkan lagi?
Kebenaran macam apalagi yang kuharapkan jika ternyata kebungkaman Ibu berlanjut
sampai maut menjemput!
Ketika perkara itu kuceritakan kepada istriku, dia bilang,
“Apakah pemilahan yang kau lakukan itu tak punya arti?”
“Maksudmu?”
“Bukankah itu menunjukkan perhatian dan kepedulian Ibu
terhadap hal-hal tersebut. Apakah itu tak bermakna bagimu?”
Aku terdiam.
“Bukankah tulisan Ibu tentang berbagai menu masakan lokal,
obat-obatan herbal, serta kumpulan lagu nasional, lagu dolanan, macapat, kisah
dan dongeng lokal itu menunjukkan kecintaan terhadap bangsa dan negeri ini
serta wujud jiwa kebangsaan Ibu? Bukankah itu cermin nasionalisme Ibu? Masa
begitu saja tak kaupahami?” tetak istriku.
Aku terlongong. Tak berlebihankah tafsir dia?
“Juga surat pendek buat Presiden, bukankah itu cermin:
bahkan saat merenta pun Ibu masih sangat peduli pada nasib sesama? Apakah kau
tak mampu membaca makna di sebalik kata itu? Dan, kau masih mendaku sebagai
penulis!”
Wah, kenapa sinis benar kalimat terakhir itu terdengar?
“Perhatikan pula contoh ini, ini…. dedalane guna lawan
sekti/kudu andhap asor/wani ngalah luhur wekasane/tumungkula yen dipun
dukani/bapang den simpangi/ana catur mungkur. Nah, apakah itu tembang-tembang
macam itu yang banyak ditulis ulang Ibu tak kaupahami bahwa Ibu adalah potret
perempuan Jawa terpelajar? Kenapa kau mencari-cari sesuatu yang tak ingin Ibu
katakan, sedangkan apa yang Ibu katakan justru tak pernah kaudengarkan?”
Sialan!
“Dan ini, ini… dengarlah. Tamba ati iku ana lima
sakwernane/kaping pisan maca Quran sakmaknane/kaping pindho solat wengi
lakonana/kaping telu wong kang soleh kumpulana/kaping papat weteng sira ingkang
luwe/kaping lima dikir wengi ingkang suwe//salah sawijining sapa bisa
anglakoni/insya Allah Gusti Pengeran ngijabahi. Nah, tembang itu, termasuk
‘Ilir-ilir’ dan ‘Turi-turi Putih’ yang ditulis Ibu, tak kau mengerti sebagai
pertanda bahwa Ibu meyakini secara teguh kuasa ilahi?”
Aku makin terdiam dan tertunduk kelu.
“Terakhir, kenapa tak kaubaca doa yang berkali-kali Ibu
tulis di beberapa lembar kertas ini? Apakah kau beranggapan doa Ibu sungguh
pasaran, sehingga luput dari perhatianmu? Apakah jika benar doa Ibu adalah doa
pasaran, lalu kau beranggapan pula Tuhan tak bakal mendengar dan mengabulkan?”
“Mana?”
“Ini. Bacalah!”
Kurebut lembaran kertas dari tangannya. Pelan kubaca tulisan
Ibu.
“Doa Selamat. Ya, Allah, aku mohon kepada-Mu keselamatan
agama, kesehatan jasmani, penambahan ilmu, dan berkah rezeki. Dapat bertobat
sebelum mati. Dapat rahmat ketika mati dan dapat hidayah pengampunan setelah
mati. Ya, Allah, mudahkanlah aku menghadapi gelombang sakaratul maut dan
lepaskan dari api neraka dan mendapat kemanfaatan ketika dihizab. Ya, Allah,
janganlah Kauguncangkan hatiku setelah mendapat petunjuk. Berilah aku rahmat.
Engkau Mahapemberi. Allah Tuhan kami, berikanlah yang baik di dunia dan di
acherat. Dan jagalah aku dari siksa neraka.”
Selama ini aku nyaris tak pernah berdoa. Aku beranggapan doa
adalah wujud kelemahan. Aku tak pernah memuji. Bagiku, pujian adalah tanda
ketaklukan. Aku tak pernah bersyukur. Menurut pendapatku, ucapan syukur adalah
cermin kecengengan.
Dan, karena itulah aku tak merasa perlu menanggapi secara
sungguh-sungguh doa Ibu? Aku tak menganggap pula doa Ibu adalah sebenar-benar
doa keselamatan?
Aku makin tertunduk dan makin merasa kelu. Air mataku
menetes, membasahi lembaran kertas itu. Aku malu. Semasa Ibu hidup, aku nyaris
tak pernah mendoakan keselamatan bagi Ibu. Bahkan kini, ketika Ibu sudah
meninggal pun, aku masih merendahkan pula doa keselamatan yang Ibu lantunkan.
Ibu, maafkan aku….
Gebyog, 13 April 2017:05.19
0 Response to "Kisah Peninggalan Ibu"
Post a Comment
Pijakilah Setiap yang Kau Baca dengan Komentar Manismu.