IBU dan Puisi Kematian
Hingga terdengar panggilan boarding, tak ada lagi berita tentang kondisi Ibu yang sedang terbaring di ruang ICU. “Masih koma”. Hanya itu SMS terakhir adikku. Singkat, menjawab pertanyaan saat sekalian kusampaikan pesan, sebentar lagi akan kunaiki pesawat tujuan Semarang.
Lepas landas, menembus jendela pesawat yang berembun dibasuh kabut-kabut lembut cairan mengkristal, mataku menerawang.
Berlatar awan-awan putih melapisi langit, lamunanku menghadirkan bayangan Ibu yang sedang kritis. Tiba-tiba, terngiang kata-katanya setahun yang lalu, selesai menggulung gelaran tikar, setelah para ulama dan ustaz beriringan pulang.
Ulama dan ustaz itu kawan-kawan Bapak, pengurus Madrasah Muhammadiyah Kampung Pendrikan. Mereka rajin membacakan Surat Yasin dan mengalunkan zikir untuk mendoakan para sahabat yang telah lebih dahulu pergi. Waktu itu, kusaksikan mereka bertahlil khusyuk sekali saat memperingati kematian Bapak ke 1.000 hari.
”Kamu nggak usah sedih saat nanti aku menyusul bapakmu.”
”Kalau kamu sedang liburan atau bertugas ke luar negeri, aku mati, kamu tak perlu buru-buru pulang. Asal kamu jangan melupakan janjimu membuat syair untuk digubah menjadi lagu. Bukan aku yang minta lho, kan kamu sendiri yang janji,” kata Ibu.
Kalau janji mengenai pemberian, Ibu tak pernah mengingat-ingat, mungkin karena tak terlalu mengharapkan. Tetapi janji akan menggubah puisi, Ibu tak akan pernah lupa.
”Aku akan merasa bahagia di alam kematian mendengarkan nyanyian yang kamu ciptakan. Tapi jangan yang norak ah. Aku emoh. Nanti mendengarnya aku nggak nyenyak tidur di dalam kubur, bisa-bisa malah keliaran jadi leak atau kuntilanak.”
”Rasanya Ibu lebih cocok jadi Si Manis Jembatan Ancol deh, daripada kuntilanak,” adikku, perempuan paling kecil, menyahut, membuat semua tertawa.
”Amit-amit!” Ibu mengucap sambil mengetuk-ngetuk tonjolan lekuk jarinya ke permukaan lantai.
Menghadapi kematian, Ibu menyambutnya dengan canda. Karena itu, semua terbawa dan hanyut dalam kelakar menyikapi bayang-bayang yang menyeramkan.
”Umurku sudah 75 tahun. Tugas terakhir menyelenggarakan seluruh selamatan untuk Almarhum, yang menjadi tradisi, sudah kupenuhi.”
Dari perkataan-perkatan yang terlontar, seakan beliau telah merasa menyelesaikan kewajiban menjalani kodrat sebagai seorang perempuan. Menjadi ibu, sebagai istri.
”Akan kuusahakan, menjelang kematian aku tak menyusahkan,” tutur Ibu.
Sepertinnya, menjemput kematian, Ibu serasa tak memiliki beban atau kekhawatiran sama sekali. Bahkan kelihatan sangat sumringah dan bergairah. Seolah akan bertemu kekasih, yang tak pernah lepas dari ingatan.
”Bapakmu itu orang yang paling beruntung. Mati tanpa sengsara akibat sakit berlarut-larut. Tapi dasar pedagang, meninggal pun saat sedang mencari uang,” terlontar juga rasa iri yang menyelimuti.
Bapak memang wafat dengan cepat. Waktu itu, beliau berangkat ke kantor ditemani salah seorang cucunya. Walaupun sudah berusia 73 tahun, Bapak tidak pernah pensiun. Tetapi tidak seperti waktu muda ketika masih keranjingan kerja, menghabiskan masa tua, Bapak bekerja seenaknya. Berangkat ke kantor pukul 10.00, pukul 14.00 sudah sampai di rumah lagi. Yang diurusi hanya perusahaan pribadi yang didirikan bersama Koh Boen (baca: Koh Mbun), Tionghoa ”singkek”, sahabat lamanya. Ke mana-mana mereka selalu berdua. Ibu bilang seperti ”benang dan layang-layang”. Kantornya mirip gudang, di daerah Pekojan, kawasan Pecinan. Sebagai pedagang grosir gula pasir, ruang-ruangnya dipenuhi tumpukan karung-karung kosong.
Di tengah jalan, saat mengendarai mobil sendiri, Bapak terkena stroke. Mungkin akibat penyakit tekanan darah tinggi yang cukup lama kurang diopeni. Belum sampai di rumah sakit, saat dilarikan tukang becak langganan yang kebetulan memergoki, Bapak sudah tak bernapas lagi. Menurut Tasya yang menemani, sebelumnya Bapak kejang-kejang sebentar. Sebuah kematian yang cukup menyenangkan, menurut pengamatan dan pemahaman Ibu.
***
DUA hari lalu Ibu dibawa ke rumah sakit karena terjatuh di kamar mandi. 24 jam kemudian Ibu tak sadarkan diri. Sekarang pasti Ibu sedang ditopang oleh berbagai peralatan medis. Bila dokter mengatakan itu jalan satu-satunya untuk mempertahankan hidup, yang tak mungkin lagi memperoleh kesembuhan, apakah maksud Ibu ’’tak ingin menyusahkan’’ berarti aku harus mengizinkan selang-selang yang kubayangkan malang-melintang kemudian dicabut dan seketika menghilangkan nyawanya? Apakah dengan demikian Ibu merasa ”beruntung”, kematiannya tidak ”sengsara” akibat sakit yang berlarut-larut?
Sementara menurut agama, diajarkan agar kita tidak mendahului Sang Pencipta, yang hanya Dia, Penguasa yang berhak mencabut nyawa manusia. Bukankah kewajiban seorang anak harus mengupayakan pengobatan dan memanjatkan doa kepada Yang Mahakuasa memohon diberi kesembuhan? Alangkah jahat dan durhaka seorang anak menutup harapan hidup orangtua, yang telah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang.
Di satu sisi aku menangkap sepenggal wasiat, sebuah permintaan. Tetapi di sisi lain aku harus menjalankan amanah dan kewajiban insan beriman.
***
SAAT dicekam kebimbangan, terbayang sosok Ibu dalam penampilan seorang yang bersahaja penggemar sastra.
Ibu selalu memandang segala sesuatu yang terjadi sebagai hikmah yang harus disyukuri. Pelajaran tentang cara menatap kehidupan banyak yang dia ajarkan. Hal-hal yang kelihatannya sepele tetapi digali dari lubuk yang paling dalam. Murni dari kerinduan diri. Bukan mengungkap yang semu, apalagi palsu. Atau memaparkan kelebihan dan kemewahan.
”Biar orang lain memuji atau memperbincangkan, tetapi jangan sekali-kali kamu yang menceritakan tentang kehebatanmu atau keluargamu. Bahkan sebaliknya, kamu yang harus menceritakan kehebatan mereka,” Ibu selalu mengingatkan.
Ibu hanya bekas guru Sekolah Rakyat, yang sekarang namanya berubah menjadi Sekolah Dasar. Itu pun hanya sampai ketika Bapak telah sepenuhnya berdagang, melepas pekerjaan sebagai karyawan PLN pengawas beberapa gardu di wilayah Selatan. Hanya bahasa Belanda, bahasa asing yang dikuasainya. Itu karena Ibu pernah sekolah di H.I.S.
Ikut serta dalam organisasi massa, sangat-sangat dihindari. Paling-paling selain rajin ikut pengajian, Ibu aktif di paguyuban aliran kebatinan dan membantu kakaknya menyiapkan katering bila sedang mengadakan semadi bersama.
Mengajar untuk mandiri, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, atau memecahkan soal-soal dari sekolah sedapat mungkin beliau jauhi.
”Kalau kamu tak mampu jangan dipaksakan. Mungkin sebatas itu kapasitas yang menjadi suratan. Tetapi setiap orang, biar bodoh sekalipun, harus menggunakan kepintaran yang dimiliki untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tanpa bantuan orang-orang yang semestinya tak dilibatkan. Jadi, kamu harus berusaha sendiri. Harus mandiri!” Ibuku sering berkata begitu dan bapakku sangat setuju.
Saat kuceritakan banyak kawanku yang membanggakan ibunya dan kutanyakan apa sebetulnya kehebatan Ibu yang harus kuceritakan, Ibu malah bilang, ”Mestinya aku yang harusnya nanti bangga pada kamu. Bilang saja ibumu hanya seorang guru sekolah rendah.”
”Boleh aku menceritakan Ibu sebagai seorang pengarang puisi?” pernah hal itu kutanyakan.
”Menceritakan aku gemar berpuisi boleh-boleh saja. Siapa tahu mereka menjadi terinspirasi mencintai sastra juga. Tetapi jangan kau banggakan aku sebagai penyair. Itu bukan profesi atau hobiku.
”Aku telah memilih pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Kesenanganku hanya memasak dan bersih-bersih rumah. Sisa waktu paling kuhabiskan untuk membaca buku atau kadang-kadang menulis.
”Bapakmu yang meminta aku mengisi waktu bersama keluarga, sementara waktunya habis buat kerja.”
Memang aku dan adik-adikku sangat merasakan, di rumah selalu ada seseorang tempat berkeluh dan sosok tumpuan menyibak kebuntuan. Tidak hanya muncul secara fisik, tetapi juga menghadirkan jiwanya, tiang kelana kehidupan, yang memotivasi untuk terus berprestasi.
Memberi inspirasi, Ibu sering membacakan puisi. Baik karya sendiri atau cuplikan dari sebuah antologi. Ibu bilang, untuk menggugah perasaan agar lebih peka menerima pesan-pesan mengandung arti yang perlu dipahami. Kemudian bersama-sama membangun ruang komunikasi, dengan pengantar bahasa-bahasa samar. Rasanya dengan menggunakan ungkapan metaforis, tali rasa lebih lekat terjalin dan maknanya lebih merasuk ke dalam perasaan.
”Karena, puisi itu juga merupakan kelembutan ekspresi keberadaan jiwa. Kehadiran roh kita yang selalu ingin menyatu dalam jalinan keluarga.
”Tubuh kita bisa mati. Fisik kita bisa sirna. Tetapi roh kita akan tetap hidup. Antara lain ya dalam puisi itu.” Begitu, dulu Ibu menggambarkan.
”Jadi kalau aku mati, itu hanya kematian jasadku, yang akhirnya dengan tanah lebur menyatu.
”Saat kamu baca puisi yang lahir dari tanganku, rohku akan ada di situ. Begitu pula saat kamu baca puisimu, aku pasti akan tergugah menyimak.
”Kita usahakan dapat terus berkomunikasi lewat puisi.”
Itulah keyakinan dan harapan Ibu.
***
SAAT menuruni tangga pesawat, kebimbangan yang menyelimuti kupendam dulu dalam-dalam. Biarlah nanti kuputuskan setelah melihat dan memahami situasi. Tetapi tanpa sebuah keputusan yang kuyakini, tetap saja keraguanku menempatkan perasaan mengambang tak menentu. Bila keadaan Ibu seperti yang kubayangkan, betul-betul aku akan dihadapkan pada posisi yang amat sangat sulit.
Saat HP kubuka kembali, membaca pesan adikku, aku tersenyum. Ternyata Ibu benar-benar tak ingin menyusahkan. Beliau wafat saat pesawat telah mengudara. Dan air mataku seketika deras mengalir. Apakah itu tangis sedih, lega, atau haru, terasa berbaur hingga tak dapat dengan mudah dipilah-pilah. Mungkin Ibu mangkat setelah beliau yakin benar, sebentar lagi aku pasti akan datang.
Ketika adikku menyampaikan bahwa jenazah menungguku untuk dimandikan, langsung kupesan taksi menuju RS Elisabeth. Menurut kebiasaan, semua anak-anak harus ikut mengguyur jenazah sebelum dibungkus kain kafan. Walau lengan baju sudah kusingkap, niat memandikan kuurungkan setelah adikku menyampaikan titipan Ibu, sebelum beliau kehilangan kesadaran.
Kudapati tulisan terselip dalam amplop, sebuah pesan menyerupai puisi.
Tak usah kau ikut memandikan
Jasadku yang dingin profan
Singkaplah kain kafan
Pandang wajahku dalam senyuman
Lalu bacakan puisi-puisi
Mengiring hidup di alam kematian
Selesai dimandikan, kupandangi wajah Ibu yang cerah sedang pulas tidur sambil tersenyum. Memenuhi permintaannya, kubacakan puisi-puisi dalam berbagai bahasa yang Ibu mengerti: Jawa, Melayu, Belanda, dan satu puisi indah berbahasa Arab yang pada waktu malam sering Ibu melafalkan; Surat Yasin.
Selamat jalan, Ibu. Pasti, akan kugubah sebuah lagu, mengiringi melepas rindu saat engkau bertemu kekasihmu.
Dicopas dari Novel Lauh Mahfuz Karya Nugroho Suksmanto