Ada Apa di Wajah Dinda?

Ada Apa di Wajah Dinda?

cerpen oleh Marendra Agung (kompasianer)

        Mobil umum berwarna biru muda berhenti di seberang muka kampus itu. Seorang wanita jelita pun keluar dari dalamnya, Dinda. Ia nampak tidak menyadari atau mungkin juga ia paksa untuk abaikan beberapa pasang mata dari para penumpang pria yang tengah tertawan oleh parasnya nan benderang. Penumpang-penumpang itu berucap dalam benak mereka,  macam-macam ucapanya.
“ oohh.. luar biasa “
Bidadari”
“bukan main ”
 “ maha besar tuhan indah sekali wajahnya”
        Beberapa jenak Dinda membelakangi mobil itu menuggu lalu - lalang kendaraan di jalan. Ia menilik jam pada pergelangan tangannya yang tadi sempat tertutup kain lengan gamisnya, sebentar lagi pukul sepuluh. Digerai kembali kain lengan itu menutupi pergelangan tangannya. Ketika jalan mulai lenggang ia menyeberang menuju gerbang kampus dengan anggun. Mobil itu pun melaju perlahan menyesuaikan laju kendaraan-kendaraan yang menumpuk di depannya, sedangkan beberapa penumpang pria yang duduk di tepian jendela masih berupaya membuntuti Dinda dengan jangkauan mata mereka. Dinda memasuki gerbang dan terbaur dengan orang-orang yang berkepentingan di sana dan lenyap dari jangkauan mata-mata penumpang itu.
        Ketika Dinda menginjak area taman gedung kelas kuliahnya jantungnya berdegub, karena tidak lama lagi ia akan melewati dinding besar itu,  tempat di mana gerombolan mahasiswa itu berkumpul, dan dari situ pulalah biasanya tikaman tatapan mata yang selalu membuatnya resah datang padanya. Pun benar saja, pria-pria itu sudah bertengger di sana. Semakin mendekat dengan pintu masuk lorong gedung semakin dekat pula ia dengan mereka, sebab dinding itu menyatu dengan gedung tujuannya. Lantas ketika ia benar-benar berjalan di samping dinding itu. .
“ aduhai... betapa segarnya hari ini, lihat wajahnya”
“ Sesst sst..”
“ hei... dia calon pendamping hidupku..”
Keluarlah puja-puji terhadap Dinda bersama asap nikotin yang membubung dari bibir mereka. Ada pula yang hanya menugaskan mata untuk menggerayangi semesta wajah Dinda yang beranugrah keelokan lebih. Macam-macam bentuk mata mereka ketika menatap Dinda, ada yang melotot, sayu, ada yang menyipit, ada pula yang melirik malu-malu. Sedangkan dari balik kain kerudungnya Dinda rasakan kulit lehernya dingin berkeringat. Ia bungkukan kapala, pandangan matanya lurus ke bawah. Ia kerahkan kakinya untuk membawa tubuhnya yang semampai itu secepat mungkin. Pun ia gapai pintu lorong, masuk ke dalam gedung menuju kelas dan pria – pria pengepul asap itu kehilanganya.
         Dinda tipikal mahasiswa yang pasif, gemar mengunci diri, jarang bersuara namun perhatiaannya tidak lemah kepada sekitarnya. Diam-diam dia selalu menyimak apa saja di sekitarnya. Ketika yang lain berbincang-bincang ringan atau bercanda ria, ia lebih suka menjadi penyaksi atau kalau sudah jenuh ia buka buku lalu tenggelam dalam bacaannya. Entahlah, mungkin Dinda takut kalau ia bicara teman-teman prianya akan menatapnya tajam, seperti halnya yang ia rasakan ketika ia maju ke muka kelas untuk tugas persentasi. Ketika yang lain bersosialisasi di luar kelas, ada yang berkumpul hingga lima orang sekedar makan bersama, atau berbincang-bincang kecil di taman berbagi informasi tv terkini, namun Dinda malah memilih untuk sendiri di pelataran masjid, membaca. Bermacam ajakan kerap ia tolak.
“  ingin ikut kami mencari buku-buku baru. .?”
“ mari ke taman din?”
“  makan bersama di kantin?”
Kecuali ajakan yang ke tiga,  Dinda tolak dengan senyuman dan kata maaf. Ajakan yang ketiga kerap digunaakan oleh teman-teman satu kelasnya yang pria, dan kalau yang itu Dinda biasa menolaknya hanya dengan gelengan kepala.
“ mari ke masjid bersama din. .? ”
 Untuk ajakan yang satu ini Dinda selalu menerima walau hanya satu orang yang akan mengucapkan itu padanya.  Sudah cukup  lama tidak ia dapatkan ajakan ini, karena Sakinah hampir dua minggu izin dalam sakitnya. Jadi untuk saat ini ajakan tersebut tiba-tiba digunakan oleh teman-teman kelasnya yang pria, dan gelengan kepala tetap menjadi jawabannya.
Setelah  perkuliahan pertama itu usai, perutnya merasa lapar lebih cepat dari biasanya. Dinda pergi ke kantin, tak ia sangka kantin kampus di siang hari sangat ramai. Ia pandangi rerumunan mahasiswa-mahasiswi sedang mengantri. Dinda berpaling dengan niat akan menahan laparnya sampai sore, makan di rumah. Dinda  takut tubuhnya tenggelam di keramaian tersebut, maka ia putuskan untuk langsung ke masjid.
“ Dinda” suara pria berat, bulat dan serak.
Ia rasakan jantungnya ingin meledak. Suara seorang pria datang dari belakang punggungnya, menegurnya. Ia kuasakan diri untuk menoleh.
“ aa.. .ee.. “ Belum sempat ia berucap pria itu langsung menghampiri dan mengiringinya berjalan.
“ mengapa tidak jadi masuk ke dalam din? ” Sambar pria itu, seraya menimbulkan senyum pada pipinya yang dihinggapi jerawat- jerawat.
“ eem.. di sana terlalu ramai ” suaranya lirih.
Untuk kali pertama Ia berbicara sedekat ini dengan pria dewasa selain marhum ayahnya dan abangnya yang sudah jarang datang ke rumah karena sudah berkeluarga. Dinda serta merta menggeser tubuhnya dari lawan bicaranya, memperjauh jarak.
“ oo jadi begitu. Sekarang kamu ingin makan di mana? ” melepaskan pandangan mata  mengelilingi semesta wajah Dinda dan akhirnya mangkal di mata Dinda yang sebening air.
“ ee.. tidak Brahmadito, aku akan ibadah zuhur ”  Dinda mengalihkan matanya ke sana kemari menghindari serangan mata lawan bicaranya, kikuk.
“kukira kamu belum hafal namaku. panggil saja aku Dito..baiklah ” suaranya agak keras dan terburu sebab lawan bicaranya itu kian berlalu, meninggalkannya.
Tanpa memberi tanggapan atau menutup percakapan Dinda kebutkan kakinya mengabaikan dan meninggalkan pria tadi. Selang beberapa langkah punggungnya terasa masih digerayangi oleh tatapan mata pria itu. Lantas ia menoleh ke belakang dan terlihat olehnya pria tadi tertinggal beberapa meter di belakangnya. Pria itu mematung menatapinya tanpa punya daya untuk mengejar. Untung saja hanya teman satu kelas yang gemar duduk di belakangnya, coba kalau pria asing yang berniat buruk, pasti terjadi hal yang buruk pula, pikir Dinda.
            Selesai ibadah zuhur Dinda  mengasingkan diri di beranda masjid, sekedar  membaca buku guna mengisi penantian perkuliahan selanjutnya. Saking khidmat membaca tak terasa azan berkumandang. Sudah ashar, ia simpan buku lalu bergegas melaksanakan ibadah ashar. Setelah Ibadah ashar Dinda berzikir sampai-sampai ia terlena. Ketika sadar ia dapati pada jam dinding di masjid sudah hampir pukul empat. Pukul setengah empat adalah perkuliahan berikutnya,  ia pun mangkir dari dalam masjid, memakai sepatu, dan berlalu. Sambil berjalan ia comot telepon genggam dari kantung tas dengan maksud melihat jam untuk meyakinkan waktu. Benar sudah hampir pukul empat dan rupanya satu buah pesan singkat dari temanya si pimpinan kelas telah hadir di layar. Ia buka pesan tersebut, setelah dibaca ia menghela nafas lega dari bibirnya. Dosen yang bersangkutan tidak hadir sehingga kuliah dibatalkan. Dinda mengubah arah kakinya, menuju ke luar kampus. Pulang.
                                                                                                                            ***
        Menjelang maghrib ketika warna temaram timbul di langit Dinda tiba di rumah, setelah memberi salam ia langsung nyelonong ke dalam kamarnya. Ibunya yang sedang memasak di dapur melongok sesaat dan membalas salamnya. Cermin adalah benda pertama yang ia cari, di hadapan cermin yang bergantung pada dinding sebelah lemari pakaian itu ia tanggalkan kerudung coklat tua yang sudah menyelimuti kepala sampai rongga dada sejak pagi. Nampaklah kilap hitam rambutnya, lantas ia usap-usap pipi, kening, dan seraut wajah penuh misteri itu sambil membatin “Apa yang salah dengan wajah ini? ”
Dinda  rasakan dirinya kotor setelah menjalani aktivitas hari, ia pun bergegas mandi.
Seperti hari-hari lainnya selepas sholat maghrib menjelang malam, Dinda dan ibunya makan bersama.
“ Bagaimana harimu cantik..? ” Si ibu menghampiri Dinda  yang sedang berkacak dagu di meja makan itu.
 “ Bunda, salahkah anakmu karena kerudung ini belum berfungsi dengan semestinya?” Meja makan itu selalu merangkap menjadi ruang ternyaman bagi Dinda untuk berbagi cerita dengan ibunya.
“  aah mutiaraku, bicara apa kamu ini nak? “ Sahut ibunya sambil mencentongkan nasi pada dua piring kosong yang bergeletak di hadapannya dan yang satu lagi di sebelahnya,di hadapan anaknya.
“  Wajah ini bunda, wajah ini mengundang perhatian pria ” Tuding Dinda kepada wajahnya.
“  Setiap wanita adalah keindahan untuk para pria. Kamu bukan satu-satunya nak, kamu cantik ”  Setelah memuji anaknya, ia buka tutup panci itu. Mengepulah asap beraroma berasal dari dalam panci. Sambil meniup-niupnya ia sajikan isi panci itu. Sayur rawon.
“  Lalu apa yang harus aku lakukan bunda ? apakah aku harus memakai cadar? aku tidak ingin wajah ini menjadi petaka untuk diriku juga orang-orang itu, pandangan mata yang terus mengintaiku “ Setelah berujar. Dinda mendiam membuka kedua telapak tangan, berdoa.
“  Astaga, kamu ini benar-benar belum terbiasa ya nak ? cadar bukanlah cara yang cocok untukmu nak “  sambil mencecak hidung bangir anaknya.
“Belum sampai enam bulan nak, cobalah untuk terbiasa. Kuliah pastilah berbeda dengan pesantren, mungkin di sanalah jiwamu akan teruji ” Sambar ibunya lalu mulai menyantap makan.
Dinda masih mendiam. Lalu bibirnya perlahan-lahan menyambut kepala sendok yang di dalamnya terdapat nasi berkubang kuah hitam itu. Ia pandangi ibunya yang hanyut dalam kenikmatan rawon. Dalam benaknya Dinda  menghadirkan suatu kenangan yang pernah terjadi di meja makan ini, di saat sebelum ia resmi menjadi mahasiswi. Kenangan yang kian mempertebal rasa cinta pada ibunya.
 “ Bagaimana bunda?”
“ Ilmu Psikologi ? Lakukan dengan hatimu nak..ibu ada untukmu”
            Sejak usia sepuluh tahun ia hidup sebagai santri yang baik. Di asrama dia hanya menjalani hidup dengan perempuan. Sekarang di ujung usia delapan belas ia bagai menjelma merpati putih yang terbang ke belantara hutan lantas menyita perhatian binatang-binatang buas. Kalau saja ayahnya masih hidup mungkin Dinda tidak akan pernah menginjak dunia perkuliahan tersebut, sebab ketika itu ayah adalah daya yang menggerakan raganya, dan segala perbuatan yang ia lakukan adalah milik restu ayahnya. Di penghujung waktunya sebagai santri, ayahnya  meninggal dunia setelah mengalami serangan jantung. Lalu titah ayahnya tentang kuliah agama islam dianggapnya ikut tiada. Ibunya yang sekarang menjadi sandarannya berhasil bersikap bijak. Dengan tunjangan gaji kepegawaian suaminya, ia lepas anaknya yang alim tersebut untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi sesuai dengan keinginan anaknya. Sehingga Dinda merasakan kakinya bebas bergerak dengan kehendaknya sendiri. Apalagi abang satu-satunya yang beranak satu yang juga seorang ustad  ikut mendukungnya.
“ Abang. Aku lulus ujian perguruan tinggi ini..”
Selamat ...semoga kamu menjadi sarjana yang baik nantinya
Pada masa-masa kuliah inilah untuk kali pertama ia merasakan hidup di dunia lain, dunia yang berbeda. Ada perempuan ada pria, dengan macam-macam perangai menjalani rutinitas hari dengan jarak yang begitu dekat.
 “ Rupanya mutiaraku tercinta sedang terganggu oleh sikap-sikap pria yang kagum padanya“ sambil membilas tepian bibirnya dengan tisu si Ibu membuyarkan lamunan Dinda.
“ Ahh bunda ini ” Dinda  menyahut sambil mengernyitkan dahi halusnya.
“  Berceritalah nak. Apa saja. Ibu takan bisa tidur tanpa mengetahui kisahmu nak “ menyerbeti teko yang basah dan agak lengket karena tumpahan air teh, lalu menuangkannya kepada gelasnya juga gelas anaknya.
“ Tadi brahmadito mengajakku berbicara ” ia cengkram gelas, ia abaikan piring yang masih bersisa isinya.
“ lohhh..” meraih satu gelas tehnya.
“ Pria ini seperti belum puas memandangiku sepanjang waktu ketika di kelas. Tadi dia berjalan di sampingku,  juga bicara padaku. Bagaimana nantinya bunda? Aku tak habis pikir, apa sebenarnya yang dicarinya dariku”  Sambil menyeruputi teh yang  ia rasakan masih agak panas.
“ wahwah..sungguh pria yang berani. Yang pasti dia itu menyukaimu nak ” si ibu meneguk teh
“ ....eheuehuekk..” Dinda tersedak.
“ heee..hati-hati, walah jangan-jangan mutiaraku ini jatuh cinta? “ Candanya dengan menjumput pipi Dinda nan lembut.
Kembali pikiran Dinda mengawang, menghadirkan hal-hal yang sering ia temukan di sekitarnya ketika menjalani hari di kampus. Pria bergandegan dan berjalan bersama dengan wanitanya, ada pula yang berboncengan di atas motor sambil dipeluk mesra oleh wanitanya dan sebagainya yang tak kuasa untuk ia lanjutkan dalam pikirnya. Muncul pula bayang-bayang  wajah ayahnya yang dahulu selalu berkata ”Jalankan perintah agama sebaik-baiknya anakku ”Teringat pula petuah yang dikatakan dengan tegas oleh guru-gurunya dahulu ketika di pesantren.
“ wanita yang beriman ,hendaklah mereka menahanan pandangannya, begitu pula pria
“jangankan berzina. Mendekatinya saja jangan sampai kalian lakukan. Zina itu keji ”
Semua bayang itu bertalu-talu dalam pikirannya.
“  Mutiaraku sayang....“ sambar ibunya menagih jawaban
“ Zina. ” Seketika kata itu diujarnya keras.
“ Astaga..” ibunya mengusap dada.
“ Ya. zina, bunda. Aku sangat takut hal itu terjadi . Bermula dari mata, bersentuhan tangan, kedua kaki dan kemaluan pun akan berzina bunda,“ ucapanya lugas, dan mulutnya bergetar-getar.
“ ohh Mutiaraku, kamu baik, kamu terpuji nak. kamu adalah tulang rusuk seorang pria yang seperti itu pula, begitu kan nak?” Meraih pundak anaknya.
“ Bunda...” ia peluk lunglai badan ibunya.
“ Nak, kamu lebih paham tentang hatimu, segalanya ada padamu nak. Jauhkan apa-apa yang kamu rasa buruk. “ membelai lembut rambut kepala anaknya.
“ Termikasih bunda.  Cinta ini selalu untukmu, “ dicium kening ibunya yang kulitnya berkerut.
       Drama meja makan pun usai. Ibu dan anak itu sibuk menenteng-nenteng piring dan gelas ke dapur. Setelah itu Dinda pergi ke kamar. Rebah di atas tilam empuk, membuka buku, membaca kata demi kata, frase ke kalimat, namun untuk kali ini ia tidak benar-benar tenggelam dalam bacaanya. Pikirannya agak bersusah payah untuk fokus menyelami bacaannya. Sampai akhirnya Dinda menyerah pada ujung paragraf pertama, mata Dinda terpejam. Pun di luar rumah turun hujan.
                                                                                                                                 ***
       Pada sore hari yang berawan itu semiliran angin bertiup kencang. Debu dan sampah-sampah kecil tersapu, daun-daun pohon bergoyang, pun kain kerudung Dinda menjadi agak melambai ketika ia tengah bersicepat keluar dari dalam kampusnya itu. Baru saja satu dua tapak Dinda melangkahi gerbang, air langit bertubi-tubi datang  mengguyur apa pun tanpa ampun. Tak ubahnya Dinda,  orang-orang di sekitarnya pun jadi sibuk memburu tempat teduh. Ada yang numpuk di warung makan kecil pinggir jalan, ada yang nyangsang di bawah etalase ruko, ada pula yang pasrah berkuyup-kuyupan di atas motor, sedangkan di seberang sana beberapa orang sudah memenuhi halte yang tidak besar itu. Dinda berlari bersama tas yang ia dekap pada dadanya, kian lekas laju kakinya hujan pun kian deras.  Ia pilih pohon rindang yang bentuknya mirip payung di tepi jalan itu sebagai tempat berteduh walau air hujan masih bisa menerabas dedaunan pohon itu, belum lagi tampiasnya. Namun Dinda pikir hanya di situ ia bisa sendiri. Dibentangkan tasnya di atas kepala guna mengurangi siraman hujan. Kerudungnya tidak begitu basah, namun kain gamis yang membalut sekujur tubuh sampai kakinya mulai kuyup. Lambat laun giginya gemeretak ujung jemarinya bergetar. Dingin.
Mobil hitam dengan merek tersohor itu  menepi di samping pohon tempat  Dinda berteduh itu, keluarlah dari dalamnya seorang pria. Setelah membanting pintu mobil pria itu  membuka payung lalu menghampiri Dinda.
“ Brahmadito.” Dinda tersentak, belum sempat ia memikirkan sesuatu apa pun pria itu sudah berdiri di depan mukanya.
“ Mari,  kuantar kamu sampai mana kamu mau? ” Memayungi Dinda tanpa menghiraukan air hujan yang jadi menyiramnya.
Dinda membisu, terlihat olehnya urat yang bertalian itu timbul dari dalam kulit pergelangan tangan si pria, juga jakun yang menjorok ke luar dari dalam leher si pria. Dinda langsung menunduk menatapi sepatunya yang kuyup, lalu memejamkan mata.
“Din.“ Pria itu agak menekuk kakinya sehingga wajahnya sejajar dengan wajah Dinda
“ eee!” Mata ia buka, lidahnya kelu.
Nampak oleh Dinda wajah persegi juga rahang lancip itu, setelah itu tak sadar pandang matanya sampai berlabuh pada mata si pria. Kemudian kilat berkelip sambung-menyambung, mata Dinda seketika kembali terkatup, bibirnya merapat dan halilintar pun menggelegar.
“ Dinda mari aku...”  Pria itu menegakan kakinya kembali. Ia sentuh pangkal lengan Dinda dengan tangan sebelah, membujuk.
Belum sampai selesai pria itu berucap, Dinda seketika menepik tangan pria itu sehingga terbebaslah pangkal lengannya dari telapak tangan yang lebar lagi kasar itu.
Beberapa jenak kemudian, di sebrang jalan ia lihat mobil umum jurusan rumahnya tengah berhenti di depan halte, tanpa dipikir –pikir setelah berhasil menepik tangan si pria Dinda terus bergegas melewatinya. Berlari menuju mobil umum di seberang jalan sana. Karena tergesa-gesa yang berlebih Dinda tidak mengindahkan situasi sisi-sisi jalan raya yang akan diseberanginya. Lantas belum sampai ia di tengah jalan, satu sepeda motor dengan kecepatan tinggi menghantam Dinda dari sebelah kirinya. Tasnya terpental, tubuhnya terhempas dan jatuh menggelinding ke tengah jalan yang berair. Motor beserta seorang pengemudinya yang kehilangan keseimbangan itu pun terperosok ke dalam selokan besar.
“ Astaga...!!”
“ waaaaaa...”
“ awasss...!!!!!”
Bersamaan dengan teriakan orang-orang di halte, pun mobil umum dengan lincah melaju dari arah berlawanan dari jurusan lain. Ketika mobil umum itu berjarak empat meter sang supir melihat ada seseorang terkapar ditengah jalan. Bersamaan dengan munculnya niat supir untuk menginjak rem, moncong mobil yang berkarat itu pun lebih dulu menghajar kepala Dinda yang sedang mencoba bangkit. Petir menggelegar kembali hujan belum mau berhenti, seakan sengaja ingin menyapu darah yang bercucuran di jalan.
                                                                                                                   ***
“ Dinda...Dinda.... “
Dinda berupaya membuka pelupuk matanya yang ia rasa berat, sedikit-demi sedikit cahaya dari lampu mulai nampak.
“..Nak...nak..”
Ingin sekali Dinda menyahut seruan itu namun sulit rasanya.
“ Mutiaraku..Dinda sayang...”
Ia hentakan kepalanya dengan sepenuh kuasanya. Pun matanya terbuka, ia dapati wajah ibunya.
“ Kamu letih sepertinya, azan isya pun tak kau dengar nak, ”
“ .... “ Dinda tersengal-sengal, air keringat menetes dari keningnya.
“ Mutiaraku, azan isya sudah selesai berkumandang. Bunda takut kamu tertidur sampai pagi. Mari sholat,”
“...” Dinda bangkit bersama guling di pelukannya.
“ Nah..bunda tunggu di depan ya nak. Abangmu datang nak. Ia sudah menuggu. Kita berjemaah.” Ibunya berlalu dari tilam.
“ Bunda,”  berseru ke arah ibunya.
“ Iya nak,” menarik langkahnya kembali, menghampiri anaknya.
“Aku ingin berhenti kuliah.”  Memeluk ibunya.

Bekasi
‎28 ‎Maret ‎2014

Marendra Agung


0 Response to "Ada Apa di Wajah Dinda?"

Post a Comment

Pijakilah Setiap yang Kau Baca dengan Komentar Manismu.