APAKAH SAYA RASIS?
oleh ISMAIL KAMIL
Entah sejak kapan isu rasis begitu marak, apalagi di
internet. Yang jelas, akhir-akhir ini, ada kecenderungan dalam prilaku sosial
kita, bila seorang dengan status minoritas melakukan sebuah kesalahan, maka
lebih baik kita – yang berlatar mayoritas – bungkam saja. Karena kalau kita
lancang memberi kritik, apalagi menyampaikan protes untuk oknum –yang mengaku
minor– maka bersiaplah dengan stempel rasis di jidat kita. Sebenarnya apa yang
terjadi, kawan? Aneh, bila kita hidup dalam sebuah negara demokrasi, namun
dengan ruang kritik yang amat pengap dan sempit.
Sampai di paragraf ini, tentu kawan sudah mengerti
arah tulisan ini. Ya, saya merasa harus mengutarakan alasan betapa saya tidak
simpatik dengan Basuki Tjahaya Purnama, setenar dan sebersih apapun dia dihadapan
media! Ada banyak poin kekeliruan Ahok yang bagi saya amat riskan dalam
pembentukan catatan sejarah bangsa, untuk kemudian hari.
.
Pasal pertama:
Ahok mempertontonkan idealisme
Ahok amat rajin menggunggah video drama melalui
channel PEMPROV DKI JAKARTA di youtube. Dari adegan-adegan dokumenter itu, ia
tampil bagai seorang martir yang rela mati demi ‘memberantas’ korupsi.
Belakangan, Ahok sering diundang Metro TV (untuk menyebut merk stasiun TV ini,
saya merasa tidak perlu meminta maaf karena kepalsuan beritanya sudah
terkenal). Di sana, Ahok pernah menceritakan bahwa demi memberantas korupsi, ia
rela menukar nyawanya. Pantaskah?
Sejauh yang saya mengerti, idealisme terpatri dalam
sanubari seorang insan. Idealisme cenderung disembunyikan, agar kemurniannya
terjaga. Tak harus seorang idealis mengemis gelar sebagai pahlawan. Malah,
seorang idealisme sejati takkan pernah merasa dirinya sampai pada ranah ideal
hidupnya. Mengingat, terlalu banyak masalah yang harus dipertanggungjawabkan.
Dan pula, idealisme tidak akan pernah didapat dari tontonan. Idealisme itu
sendiri membenamkan dirinya dalam sebuah perjuangan. Kita harus menggalinya,
dengan tangan sendiri. Idealisme bukan sebuah kata puitis dalam sebuah jaman.
Lantas Ahok dengan lagak aktor berwatak meyakinkan, membuat sandiwara bagai
wiro sableng dengan kapak 212. Padahal, ada pertanyaan sederhana untuk menyapu
kebingungan kita tentang Ahok; sebutkan satu saja nama oknum korup yang
tertangkap akibat perjuangan Ahok membela kebenaran?
Bila saya muak dengan tontonan yang ditawarkan Ahok,
apakah saya rasis?
.
Pasal kedua:
Ahok mengunyah semua kebenaran dalam mulutnya
Kawan, saya sarankan agar jangan mengimani kalimat
mutiara guru SD kita yang mengatakan “berani karena benar, takut karena salah”,
karena dalam realitas kehidupan yang kacau ini, kenyataan bisa berbalik.
Seorang pengkhianat bisa berdiri lebih gagah ketimbang seorang yang jujur.
Seorang yang jujur dalam sebuah tekanan harus terlihat lebih lunak ketimbang
seorang pembohong yang lantang. Ya, Ahok, dengan semua caci maki dan kata-kata
sampah yang keluar dari mulutnya, secara tak langsung menginspirasi generasi
muda kita bahwa untuk menjadi orang yang benar, syarat pertama adalah hilangkan
kesantunan! Karena, bersopansantun itu ciri dari kaum munafik bin hedon. Seolah
semua kebenaran telah ia telan dalam mulutnya. Maka yang keluar dari mulutnya,
sebusuk apapun, tetap harus dianggap ‘wahyu’ bagi pengikutnya. Dan setiap
kritik dari lawan politik – bahkan hanya celoteh awam – dianggap sebagai bentuk
sentimen terhadap kaum minoritas.
Bila saya merasa bahwa ucapan-ucapan kasar Ahok
berdampak buruk, apakah saya rasis?
.
Pasal ketiga:
Dalam urusan nasionalisme, Ahok memosisikan dirinya
sebagai Tiong Hoa yang menyedihkan
Dengan sangat bangga, saya berkata bahwa Indonesia
merdeka juga berkat pejuang dari kalangan Tiong Hoa. Tunggu dulu! Tiong Hoa
yang bagaimana? Sebut saja misalnya Siaw Giok Tjhan yang dengan bangga
menentang etnisnya sendiri demi semboyan “hidup dan mati sebagai orang
Indonesia!” Dalam hal ini, ia berjuang semampunya agar melebur bersama pribumi.
Berkat keseriusannya menjadi pribumi, ia dipercaya menjabat ketua umum BAPERKI
(Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Atau Laksamana John Lee,
yang mempertaruhkan nyawanya melintasi perairan timur dan barat guna
menyelamatkan persediaan senjata bagi pejuang kemerdekaan. Tak sekalipun ia
mengeluh dan merasa dirinya berbeda dari pribumi. Ia lebih suka membaur,
daripada bersikap cengeng sebagai barisan minoritas yang tersakiti. Kita patut
kenang juga Soe Hok Gie yang menjadi tokoh penting pergerakan angkatan ’66
dalam menentang Orde Lama. Dalam catatan hariannya, Gie sangat membenci para
Tiong Hoa yang merasa dirinya Tiong Hoa. Bagi Gie, bersama semangat alam
Indonesia, ia bisa menyusun puing-puing peristiwa hidupnya menuju pencapaian
sebuah idealisme.
Lalu di Jakarta bertengger seorang Ahok yang
menjadikan istilah minoritas sebagai alasan untuk berbuat semena-mena. Harusnya
Ahok belajar dari ratusan Tiong Hoa yang tidak bermental cengeng. Ia harus
berjuang, tanpa membawa-bawa statusnya sebagai kalangan minoritas.
Bila saya menganggap Ahok sebagai Tiong Hoa
bermental cengeng, apakah saya rasis?
Pasal keempat:
Ahok tidak cerdik mengamati ummat Islam
Karena hidup dalam dukungan lingkaran kaum Islam
liberal-pluralis, Ahok seakan besar kepala dan mengabaikan fakta bahwa di luar
sana, masih banyak ummat Islam yang rela mati demi agamanya. Masih sangat
banyak ummat Islam yang beragama dengan cara rukuk dan sujud, bukan dengan
berdebat dan berspekulasi (seperti yang dipamerkan kalangan
liberalis-pluralis). Barisan yang rukuk dan sujud inilah yang apabila
bergandengan tangan, bisa menguliti aspal jalanan Jakarta menjadi serba putih.
Itu hanya sepersekian persen dari jumlah Muslim se-nusantara.
Entah karena salah perhitungan, atau karena merasa
sudah di atas angin, dengan cerobohnya Ahok menghina Surah Al Maidah : 51.
Padahal, itulah acuan strandar moral sosial ummat slam dalam berbangsa. Ada
titah sakral betapa pentingnya menolak non Muslim sebagai pemimpin. Akibatnya,
bahkan hingga detik ini nyaris semua daerah di seluruh nusantara
mengkampanyekan Aksi Bela Islam II (saya merasa akan ada jilid ke III, IV dan
seterusnya) demi menagih proses hukum negara ini soal penistaan agama. Harusnya
Ahok berkaca dari Salman Rusdie yang hanya karena membuat sebuah buku fiksi
berjudul The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan), ahirnya harus melarikan diri ke
Inggris, karena kalau tidak…maka amat banyak yang menginginkan kepalanya.
Ummat Islam tumbuh dalam berbagai pergolakan, penolakan,
bahkan difitnah dari jaman ke jaman. Maka mereka tumbuh lebih kuat dibanding
komunitas atau agama manapun di bumi ini. Dan sebuah kata kunci bernama TAUHID,
akan menjadi sentral pergerakan yang membuat ummat Islam, dengan senang hati
menyumbangkan nyawanya tanpa banyak basa-basi.
Lalu, apabila saya berharap semoga Ahok diproses
karena tuduhan penistaan agama, apakah saya rasis? Kalau begitu, saya akan
mengganti harapan semoga Ahok tidak menutup usianya dalam keadaan yang amat
mengenaskan.
0 Response to "Esai Tentang Kepemimpinan - Apakah Saya Rasis?"
Post a Comment
Pijakilah Setiap yang Kau Baca dengan Komentar Manismu.