Istilah revolusi mental menjadi salah satu “jualan”
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Namun apa yang dimaksud revolusi? Apa pula
yang dimaksud revolusi mental? Berikut perbincangan dengan pemikir dan penulis
filsafat Martin Suryajaya.
Apa yang dimaksud revolusi?
Revolusi adalah pengubahan mendasar di lapangan kehidupan
tertentu yang melibatkan pembalikan kerangka acuan dalam berpikir, merasa, dan
bertindak dalam hubungan dengan lapangan itu. Revolusi bukan sekadar
“perubahan” (yang bisa saja terjadi secara kebetulan), melainkan “pengubahan”
yang disadari dan melibatkan upaya aktif mengubah dasar-dasar keadaan menuju
sesuatu yang dibayangkan lebih maju.
Jadi dalam setiap revolusi selalu ada dimensi pelaku
(subjek) yang menyadari tugas revolusi dan melaksanakannya. Yang diubah dalam
revolusi bukanlah unsur sampingan yang bersifat tempelan, melainkan fondasi
yang jadi tumpuan bangunan kenyataan sebelumnya. Jadi revolusi selalu bersifat
“radikal”, menyasar ke akar persoalan.
Apa makna yang terkandung dalam istilah revolusi mental?
Pengertian mental dalam istilah revolusi mental mengacu ke
segenap aspek kepribadian manusia Indonesia. Jadi, setidaknya menurut
penangkapan saya, revolusi mental adalah pengubahan mendasar seluruh aspek
kepribadian manusia Indonesia. Yang diubah seyogianya bukan hanya aspek
lahiriah dari kepribadian, melainkan jauh lebih dalam lagi: cara orang
mengalami sesuatu dan bersikap terhadapnya.
Revolusi mental mensyaratkan perubahan mendasar pada semesta
imajinasi setiap anggota bangsa Indonesia. Ia harus menyentuh akar kultural
setiap orang. Artinya, revolusi mental seharusnya dimaknai sebagai revolusi di
lapangan kebudayaan seutuhnya -- revolusi kebudayaan.
Apa rujukan yang (seyogianya) dipergunakan?
Setiap revolusi hanya akan berhasil bila menjawab kebutuhan
nyata masyarakat. Kenapa mental orang harus berubah? Kenapa tak melanjutkan
kebiasaan lama? Untuk menjawab persoalan dasar itu, kita butuh rujukan. Kita
tak perlu jauh-jauh mencari rujukan dalam teori njelimet. Rujukan kita ke
sejarah kebangsaan; pada Revolusi Agustus, pada cita-cita kebangsaan kita.
Saya sepenuhnya mengacu ke pandangan Pramoedya Ananta Toer.
Bangsa Indonesia tak dilahirkan atas dasar etnis atau agama, tetapi dari rahim
revolusi kita, Revolusi Agustus. Pengertian Revolusi Agustus -- istilah ini
sekarang agak dilupakan orang -- tak bisa disempitkan menjadi sekadar perang
kemerdekaan. Revolusi Agustus adalah proses pengubahan total dari masyarakat
jajahan ke bangsa merdeka.
Siapa pelaku revolusi itu? Bukan hanya elite yang
“tercerahkan” oleh didikan Belanda seperti Soekarno. Namun, terutama, gerakan
rakyat yang bangkit melawan penjajahan. Revolusi Agustus adalah revolusi
rakyat. Dari revolusi rakyat itulah lahir bangsa Indonesia.
Agenda utama Revolusi Agustus adalah dekolonisasi,
penghapusan segala warisan feodal dan kolonial serta penciptaan tata hidup baru
dengan kemanusiaan yang baru pula. Hindia Belanda dibangun di atas penjajahan
ganda, yakni penjajahan Belanda terhadap seluruh warga kepulauan sekaligus
penjajahan kaum priayi terhadap rakyat jelata. Hindia Belanda dibentuk oleh
simbiosis antara kolonialisme dan feodalisme.
Revolusi Agustus hendak menyudahi penjajahan ganda itu. Jadi
revolusi kita bertujuan menciptakan manusia baru, yakni bangsa Indonesia yang
merdeka. Ke cita-cita Revolusi Agustus itulah kita seharusnya mengacu manakala
mencanangkan revolusi mental.
Apa dasar pemikiran kemunculan “ajakan” revolusi mental di
bawah pemerintahan Jokowi?
Kita dapat membaca kemunculan agenda revolusi mental pada
pemerintahan sekarang dengan menempatkannya dalam upaya menghidupkan kembali
semangat kebangsaan yang dirumuskan Soekarno. Kita mesti kembali mengacu ke
sejarah. Dengan penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada Indonesia dan
pengadopsian UUD Sementara 1950, agenda Revolusi Agustus justru mandek.
Indonesia memasuki masa demokrasi parlementer yang mempersulit konsolidasi
usaha dekolonisasi sampai ke akar-akarnya. Agenda kontra-Revolusi Agustus
justru menguat, yakni pemberian konsesi pada kekuatan modal asing dan kaum
priayi.
Untuk menghidupkan kembali Revolusi Agustus yang mati suri
itulah pada 1959 Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden dan menyatakan,
“Revolusi belum selesai.” Usaha menghapus pengaruh feodal dan kolonial
digencarkan kembali. Dalam konteks itulah Soekarno mencetuskan asas Trisakti,
yang antara lain menyerukan keperluan menjunjung sikap “berkepribadian di
lapangan kebudayaan”. Kalau kita perhatikan pidatonya pada 17 Agustus 1965,
teranglah yang dimaksud “berkepribadian” itu mengacu ke agenda Revolusi
Agustus. Waktu itu Soekarno mengatakan, “Dari kebudayaan lama kita kikis
feodalismenya, dari kebudayaan asing kita punahkan imperialismenya.”
Jadi jelas kebudayaan nasional Indonesia adalah apa yang
kita dapat ketika telah mengesampingkan seluruh unsur feodal dari kebudayaan
tradisional serta seluruh unsur kolonial-imperialistik dari kebudayaan modern.
Perwujudan Trisakti mensyaratkan dekolonisasi kebudayaan. Usaha itulah yang
dihentikan paksa oleh kekuatan kontra-Revolusi Agustus yang bergerombol
membentuk Orde Baru dan mendongkel Soekarno. Bersamaan dengan itu, terdongkel
pula Revolusi Agustus dan agenda dekolonisasi -- selama 32 tahun.
Reformasi 1998 berhasil mendongkel Soeharto. Namun tidak
berhasil membuat perhitungan dengan warisan Orde Baru. Akibatnya, agenda
dekolonisasi dalam Revolusi Agustus tetap terlupakan. Agenda revolusi mental
yang dicanangkan Jokowi, kalau kita mau berbaik sangka, sangat mungkin didasari
upaya menghidupkan kembali api Revolusi Agustus, menggelorakan kembali agenda
dekolonisasi.
Bagaimana wujud operasionalisasi revolusi mental?
Wujud operasional revolusi mental boleh dikata agak kurang
tajam. Kini revolusi mental sudah ada website-nya. Kalau kita tengok aksi yang
tercantum di sana, baru sebatas gerakan membuang sampah ke tempatnya, ajakan
gerak jalan bersama, dan seruan membudayakan antre. Jujur, saya cenderung ragu
apakah aksi macam itu bisa mengembalikan semangat Revolusi Agustus. Inisiatifnya
baik, tetapi perwujudan dalam aksi masih perlu penajaman.
Apa kendala yang membuat revolusi mental kemungkinan
terjatuh jadi jargon?
Tantangannya ganda: bagaimana revolusi mental tak berhenti
sebagai slogan, sekaligus tak berhenti sebagai praktik kedisiplinan yang
kosong. Kita mesti mencari jawaban pada landasan ideologis revolusi mental itu.
Kita harus pastikan gerakan itu dilancarkan di atas rel Revolusi Agustus, di
atas cita-cita memerdekakan bangsa dari seluruh warisan budaya kolonialisme dan
feodalisme.
Selama revolusi mental tak dimaknai dalam semangat itu, kita
hanya akan terus mereproduksi ideal-ideal kedisplinan Orde Baru yang kempis
secara ideologis. Dalam dokumen Nawacita (yang menjadi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional/RPJMN 2015-2019), jalan menuju jawaban itu jelas:
“meneguhkan kembali jalan ideologis”, yakni dengan “kembali ke Pancasila 1 Juni
1945 dan Trisakti”. Ke situ seharusnya kita menengok.
Dalam konteks keindonesiaan, revolusi macam apa yang
berkemungkinan bisa kita lakukan?
Saya tetap yakin revolusi mental penting, kalau kita
tempatkan pada kedudukan historis sebagai kelanjutan Revolusi Agustus.
Masalahnya, Revolusi Agustus bukan hanya soal pengubahan kepribadian, melainkan
juga soal pengubahan susunan hidup masyarakat Indonesia seluruhnya. Kemerdekaan
bukan hanya soal sikap dan cara berpikir, melainkan harus tercermin pula dalam
perikehidupan rakyat banyak.
Saya teringat ucapan Frantz Fanon, intelektual pembela
kemerdekaan Aljazair dari penjajahan Prancis, “Memberikan pendidikan politik
pada massa berarti membuat keseluruhan bangsa menjadi kenyataan bagi setiap
warganya, dan itu berarti membuat segenap riwayat kebangsaan menjadi pengalaman
pribadi bagi mereka semua.” Kita belum sampai ke sana. Amnesia yang dipaksakan
Orde Baru selama 32 tahun membuat realitas kebangsaan jadi abstrak di mata kita
dan Revolusi Agustus makin terdengar seperti dongeng dari abad-abad lampau.
Realitas kebangsaan itu akan selamanya abstrak sejauh jurang
antara kaya dan miskin tetap lebar, perkembangan ekonomi antardaerah masih
begitu senjang, dan rakyat masih terpecah belah oleh alasan suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA). Untuk menyelesaikan masalah itu, kita butuh bukan
hanya revolusi mental, melainkan juga revolusi di setiap lini perikehidupan
masyarakat. Kita butuh pertumbuhan ekonomi, tetapi jangan lupakan redistribusi
kekayaan. Kita butuh pembangunan infrastruktur, tetapi jangan lupakan
perlindungan hak masyarakat. Kita butuh revolusi mental, tetapi jangan lupakan
Revolusi Agustus.
Martin Suryajaya
Lahir: Semarang, 11 Maret 1986
Pendidikan: Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta
(2009)
Aktivitas:
- Pemimpin redaksi Jurnal Filsafat Driyarkara (2007-2008)
- Koordinator Pusat Studi Fenomenologi dan Filsafat Prancis
STF Driyarkara
- Editor penerbit AksiSepihak
- Editor Jurnal IndoProgress
- Menulis filsafat dan sastra
Buku:
- Imanensi dan Transendensi (2009)
- Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme (2011)
- Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan
Filsafat Kontemporer (2012)
- Asal-usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi
dari Aristoteles sampai Amartya Sen (2013)
- Mencari Marxisme
- Teks-teks Kunci Filsafat Marx (2016)
- Sejarah Pemikiran Politik Klasik: dari Prasejarah hingga
Abad Ke-4 M (2016)
- Sejarah Estetika (2016)
- Kiat Sukses Hancur Lebur (2016).
· Versi lebih pendek perbincangan ini termuat di Suara
Merdeka, Minggu, 7 Mei 2017, halaman 6.
*Dari status FB Kang Putu ( Gunawan Budi Susanto) - https://www.facebook.com/notes/gunawan-budi-susanto/martin-suryajaya-revolusi-agustus-revolusi-rakyat/1270136693100134/
Halo. Salam kenal. Saya adalah calon penulis yang akan terus belajar hingga tua. Saya juga memiliki blog yang mengupas tentang sastra dan masih dalam tahap perkembangan.
ReplyDeletehttps://gulana07.blogspot.co.id/?m=1
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^