MAS, KAU LAKI-LAKI
sebuah cerpen Karya Nicky Bernett
.
.
"Umi menangis?"
.
Suapan terhenti di udara, melihat raut wajah kecil ini.
"Tidak, Umi tidak menangis."
.
"Tapi airmata Umi keluar."
.
"Oh ini." Aku mengusap lelehan, "karena
kemasukan sabun saat memandikan adek di kolam renang tadi."
.
"Umi baik-baik saja?" Bibir mungil anak keduaku
tak henti bertanya, "aku selalu melihat Umi sedih."
.
"Maafkan, Umi, ya, Dek. Umi janji, akan sering senyum
setelah ini," hiburku.
.
"Abi jarang ada di rumah," celetuk Rafa.
.
"Abi harus bekerja. Untuk bayar sekolah dan beli mainan."
Nasi di piring sudah tandas. Tinggal lauk ayam renyah yang tersisa.
.
Bagaimana aku harus menjelaskan masalah ini kepada
anak-anak? Sangat ingin bercerita, menahan semua di hati sendiri membuat
hari-hari tersiksa. Mereka, kedua putraku, tentu sangat paham situasi rumah.
Menjadi dingin dan sepi.
.
"Habiskan ayamnya, ya. Umi keluar sebentar, sepertinya
Abi sudah pulang. Dek Rafa tiduran dulu, nanti Umi bawakan obat."
.
Putraku mengangguk, mengambil potongan ayam kesukaannya.
.
Aku bingung. Semua jalan terasa salah. Bertahan adalah hal
yang bisa kulakukan. Sepertinya sudah takdir. Menerima atau menolak, tetap saja
akan terjadi. Mungkin benar, hati manusia selalu berubah-ubah, begitu juga rasa
cinta.
.
.
"Mas sudah pulang." Kucium punggung tangan kanannya.
Ada lebam.
.
Suami terdiam. Memandang ke arahku dengan tatapan pilu.
Menyebabkan getaran aneh di dinding hati. Tatapan yang sama, saat kami mengadu
rindu saat pertama kali bertemu.
.
"Mas mau mandi atau makan?"
.
"Makan," jawabnya.
.
"Semua sudah ada di meja makan, Mas. Kusiapkan nasinya
sekarang, juga kopi."
.
Dia di belakang. Berjalan pelan, dan tanpa obrolan lagi.
Kuambilkan nasi lalu meletakkannya di meja makan. Mas Putra sudah ada di sana.
.
"Mas mau kopi?"
.
"Air putih saja," ucapnya. "Temani aku makan,
ada yang ingin kubicarakan."
.
"Iya, Mas. Setelah menyuapi obat buat Rafa, aku akan
menemani Mas makan."
.
"Rafa sakit?" Wajahnya menoleh padaku.
.
"Hanya masuk angin, karena terlalu lama bermain air
saat acara renang tadi."
.
Mas Putra kembali melanjutkan acara makannya. Mengambil lauk
lagi. Dan membiarkan aku mengurus putra keduanya.
.
Apa sudah tidak ada rasa cemas dalam hatimu, Mas? Ketika
mendengar anakmu sendiri sakit. Mungkin, hanya di titik ini lah Mas sanggup
bertahan. Melepaskan atau mempertahankan benar-benar tidak bisa kamu lakukan.
Aku tahu, semua badai ini membuat lelah. Cintamu sudah terbagi, dan kini, cinta
yang dulu penuh untukku, telah Mas berikan kepada perempuan lain. Calon istri
keduamu.
.
"Umi jangan menangis lagi." Aku terisak. Rinai tak
mampu kubendung lagi. Sekali pun pikiran memerintahkan untuk kuat, batin
terkoyak. Apa ini, balasan penantian dan pengorbananku? Sungguh, bukan takdir
yang ingin kuadukan. Tapi, kesungguhan perjuangan yang dulu serta janji tidak
akan pernah ada yang kedua saat pertemuan keluarga. Ya Rabbi, inikah jalan yang
Kau beri?
.
"Umi mau pergi sama Abi. Mungkin sampai malam. Rafa
sama Budhe ya di rumah. Mas Raka nanti pulang setelah maghrib."
.
"Umi mau ke mana?"
.
"Menemani Abi belanja, maaf, Rafa tidak bisa
ikut."
.
"Kenapa Ummi menangis jika Abi mengajak jalan-jalan?
Kita sudah lama tidak liburan bersama."
.
"Tidak ada apa-apa. Umi hanya pengen menangis saja. Umi
pergi dulu, Abi butuh sesuatu sepertinya. Istirahat ya, Dek. Umi nanti belikan
martabak telur."
.
Kuciumi dua pipi mungil ini. Memeluknya lama. Ya Allah,
jauhkanlah keluarga kami dari perpecahan.
.
foto by google |
0 Response to "Mas, Kau Laki-Laki!"
Post a Comment
Pijakilah Setiap yang Kau Baca dengan Komentar Manismu.