MENUJU CAHAYA ILAHI
Oleh: Ahmad Mustofa Bisri ( Gus Mus )
Cahaya Ilahi ibarat ceruk di dinding yang di dalamnya ada pelita besar yang benderang; pelita itu berada dalam kaca yang cemerlangnya bagaikan bintang gemerlap. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, pohon zaitun yang senantiasa mendapat sinar matahari sejak terbit dari timur hingga tenggelam di barat. Minyaknya saja nyaris menyinari sekalipun tak tersentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahayaNya siapa saja yang Ia kehendaki… (Baca Q. 24: 35)
Tamsil yang dibuat oleh Sang Pemilik Cahaya itu sungguh luar biasa. Bayangkan. Pelita benderang di dalam kaca cemerlang dengan minyak yang berkilauan berada di ceruk dinding. Dalam ceruk, pastilah cahaya benderang pelita dalam kaca cemerlang dengan minyak berkilauan itu terfokus. Hamba yang dikehendakiNya, pastilah sangat mudah mendapatkan cahaya di atas cahaya itu.
Pertanyaannya: siapakah kira-kira hamba Allah yang Ia kehendaki mendapat bimbingan ke arah cahayaNya itu? Tentu kita tidak tahu persis. Namun setidaknya kita dapat menduga dengan mencermati firman-firmanNya. Kita pun bisa membatasi wilayah pencarian kita terhadap hamba yang Ia kehendaki itu, misalnya, dalam kalangan hamba-hambaNya yang ia senangi.
Menilik firmanNya di surah Baqarah (Q.2: 257), orang-orang mukminlah yang Ia keluarkan dari kegelapan-kegelapan menuju ke cahayaNya. Lawannya adalah Thaghut, setan, yang menarik dari kebenderangan cahaya menuju ke pekat gelap.
Sementara orang mukmin yang dicintai Allah ialah orang mukmin sejati. Hamba mukmin yang sabar, yang adil, yang pemaaf, yang suka mensucikan diri, yang tawakkal, yang berbuat baik, yang tahu berterimakasih, yang tidak berlebih-lebihan, yang tidak sombong, yang tidak zalim, yang tidak membuat kerusakan di muka bumi, yang tidak khianat, yang tidak suka membanggakan diri, dan seterusnya. Pendek kata hamba yang takwa kepadaNya.
Dan takwa itulah yang diharapkan dari puasa kita. (Baca Q.2: 183).
Dan takwa itulah yang diharapkan dari puasa kita. (Baca Q.2: 183).
Apabila dalam puasa ini, kita melaksanakannya dengan ikhlas, hanya mengharapkan dengan keyakinan penuh mendapatkan ridha Allah; menjaga hati pikiran dan indera kita agar tidak melanggar angger-angger-Nya; insya Allah kita akan dimudahkanNya menjadi hamba yang bertakwa. Apalagi bila kita dapat menghayati pendidikan puasa ini dan dapat memperoleh darinya kekuatan menahan diri, menutup jalan setan –yang berupa syahwat dan amarah-- menuju diri kita, dengan izin Allah kita akan terjaga oleh MahacahayaNya dari tarikan setan yang ingin menjerumuskan kita ke dalam kegelapan yang berlapis-lapis.
Quran, sebagai firman Allah yang turun di malam Qadar di bulan Ramadan, tak pelak merupakan Mahacahaya yang benderangnya melebihi seribu purnama. Wahai siapakah yang berbahagia tercerahi olehnya.
sumber: status facebook KH. Ahmad Mustofa Bisri, 26 juni 2016.
Foto oleh Timur Sinar Suprabana |
0 Response to "MENUJU CAHAYA ILAHI - oleh Gus Mus"
Post a Comment
Pijakilah Setiap yang Kau Baca dengan Komentar Manismu.